Beranda Mineral APNI Geram Pengusaha Smelter Banderol Harga Bijih Nikel Suka-Suka

APNI Geram Pengusaha Smelter Banderol Harga Bijih Nikel Suka-Suka

Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) kembali bersuara terkait adanya transaksi perdagangan bijih nikel yang dilakukan pengusaha smelter di luar ketetapan Pemerintah. Padahal, tata niaga nikel domestik telah diatur melalui Harga Patokan Mineral (HPM) berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020.

“Kami sebagai penambang agak sedikit kecewa karena beberapa smelter yang berdiri itu melakukan kegiatan transaksi yang dalam batasan kami itu suka-suka,” kata Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey saat menghadiri diskusi webinar Core Media Discussion, Selasa (12/10)

Menurut Meidy, pengusaha smelter acap kali mematok harga sendiri, dan proses transaksi perdagangan tidak mengacu pada regulasi yang ada. Dengan proses tata niaga yang dinilai amburadul tersebut, Meidy menyebut kebanyakan dari penambang akhirnya seolah-olah memberi bijih nikel gratis ke industri smelter.

“Sedangkan di tahun 2017 waktu itu sudah ditetapkan melalui Permen ESDM Nomor 7, ada harga patokan mineral, di mana harga patokan ini basis kami para penmbang untuk membayar kewajiban ke negara yaitu PNPB melalui royalti 10% dan PPH 1,5%,” lanjutnya.

Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2017 terkait HPM tersebut, kemudian direvisi dan disahkan pada April 2020. Dalam Permen anyar ini terdapat satu poin yang menurut Meidy sangat penting, yakni penetapan harga yang ditetapkan oleh pemerintah setiap bulan.

Ketetapan ini, lanjut Meidy sebelumnya telah dikaji dan didiskusikan melalui beberapa rapat antara pelaku industri smelter maupun pelaku industri hulu di Kementerian ESDM.

Meski aturan tersebut sudah berjalan, namun dalam pelaksanaan masih terdapat perusahaan yang tidak mengikuti ketetapan tersebut sehingga menyebabkan ketimpangan di antara pengusaha nikel, terutama pengusaha hulu.

“Dalam perjalanannya, industri hilir itu menolak dan tidak mau melakukan kegiatan transaksi melalui HPM yang ditetapkan. Itu menjadi simalakama buat kami , karena apapun core yang kami keluarkan, kami harus menjalani kewajiban berdasarkan HPM yang ditetapkan,” kata meidy.

“Karena terjadi banyak kericuhan, keributan, akhirnya kami terus bersuara ke pemerintah bahwa HPM ini harus diikuti seluruh pelaku, baik itu industri hulu, hilir,” lanjutnya.

Upaya APNI kemudian mendapat titik dengan terbentuknya tim satuan tugas oleh Kementerian Koordinasi Bidang Maritim dan Investasi. Satgas ini berperan sebagai pihak yang mengawasi proses transaksi tata niaga bijih nikel.  

“Akhirnya pada bulan Agustus Kemenko Marves mengeluarkan yang namanya tim satgas, mengawasi bagaimana pelaksanaan transaksi bijih nikel apakah sudah sesuai dengan Permen ESDM No 11 Tahun 2020, baik harga, jasa analisa, surveyor maupun sanksi-sanksi yang ada jika tidak mengikuti aturan tersebut,” tandasnya.