Beranda Mineral Baja Indonesia Optimis Bersaing di Pasar Asia Tenggara

Baja Indonesia Optimis Bersaing di Pasar Asia Tenggara

Jakarta-TAMBANG. Industri baja Indonesia optimis  dapat bersaing di pasar Asia Tenggara. Sebab jika dilihat dari kualitas produk, baja Indonesia masih unggul.

 

Ketua Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA),  Irvan Kamal Hakim menuturkan ada dua keunggulan dari industri baja nasional dibanding dengan industri baja dari negara Asia Tenggara lain. Pertama, struktur industri baja Indonesia yang sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir. Kedua, produksi baja Indonesia peringkat dua besar Asia Tenggara. Industri baja Indonesia punya peluang menguasai pasar Asia Tenggara.

 

“Thailand tidak punya industri iron making seperti Indonesia,” kata Irvan, Selasa (13/1).

 

Menurut data dari Organization for Economic Corporation and Development (OECD), Indonesia dan Malaysia punya kapasitas produksi steel making 10 juta ton per tahun. Ini tercatat sebagai produksi terbesar kedua setelah Vietnam dengan kapasitas 11,7 juta ton.

 

Irvan mengakui, meski unggul, bukan perkara mudah bagi Indonesia untuk ekspor. Sejak 15 tahun lalu, Indonesia tak bisa ekspor baja ke Thailand karena dituduh dumping. Dan pada November tahun lalu, Malaysia pun memberlakukan hal serupa.

 

Instrumen perdagangan ini membuat baja Indonesia sulit menembus pasar Asia Tenggara. Di sisi lain, baja Thailand dan Malaysia bebas merambah Indonesia. “Pemerintah Malaysia dan Thailand melindungi industri bajanya,” ujar Irvan.

 

Selain itu, persoalan lainnya adalah ketergantungan impor. Mengacu data South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada 2013, Indonesia impor 8,19 juta ton baja atau 65% dari total kebutuhan 12,69 juta ton.

 

Memang, dikatakan Irvan, kondisi itu juga dialami negara Asia Tenggara lainnya. Tetapi di negara tersebut membuat kebijakan atau strategi salah satunya seperti mewajibkan pakai baja dalam negeri.

 

“Seperti yang dilakukan Malaysia. Kami minta pemerintah bikin kebijakan yang sama dengan kebijakan baja negara kompetitor,” keluh Irvan.

 

Sementara, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto menerangkan masalah yang dihadapi industri baja Indonesia bahan baku yang 70% impor, kedua tarif listrik naik. “Cost structure industri baja ada di dua hal ini,” ujar Harjanto.