Beranda Editorial Benahi Tata Niaga Epiji  

Benahi Tata Niaga Epiji  

Kenaikkan harga elpiji 12 kilogram sebesar Rp 18.000 per tabung atau Rp 1.500 per kilogram mulai 3 Januari 2015, berdampak luas. Harga elpiji 12 kilogram yang terus membubung dari sebelumnya Rp120.000 menjadi Rp140.000 per tabung itu membuat masyarakat berebut elpiji 3 kilogram yang disubsidi pemerintah. Migrasi penggunaan elpiji ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak.

 

Menurut pengamat energi Komaidi Notonegoro, kenaikan harga elpiji memang wewenang Pertamina sebagai badan usaha. Namun, pemerintah juga harus mengawasi lebih ketat agar tidak terjadi migrasi konsumsi elpiji 12 kilogram ke 3 kilogram. Ia menilai, migrasi pengguna 12 kilogram ke 3 kilogram, selain salah sasaran juga meningkatkan subsidi sektor elpiji. Karena itu, semestinya pemerintah dan PT Pertamina (Persero) bersama-sama mengantisipasi migrasi pengguna elpiji ke tabung 3 kilogram pascakenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram.

 

Senada dengan Komaidi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga meminta PT Pertamina (Persero) untuk membereskan tata niaga elpiji, menyusul kenaikan harga tabung gas elpiji nonsubsidi 12 kilogram. “Pertamina harus membereskan tata niaga elpiji, supaya nanti tidak ada migrasi besar-besaran ke tabung elpiji 3 kilogram,” katanya kepada Antara, Senin (5/1/2015).

 

Dengan kenaikan harga elpiji 12 kilogram, masyarakat dipastikan akan berpindah ke tabung 3 kilogram karena harga yang lebih murah. “Masyarakat akan berpikir lebih baik beli yang murah saja daripada yang mahal. Makanya harus diatur agar tabung 3 kilogram ini harus benar tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh yang mampu,” katanya.

 

Pemerintah melalui Pertamina juga harus menjamin pasokan gas elpiji 12 kilogram tak hanya dari segi kuantitas tetapi juga harga. “Pertamina harus menjaga agar elpiji ini menggunakan distribusi pendek. Artinya harus bisa sampai ke tangan konsumen dengan alur distribusi yang pendek sehingga biaya distribusi tidak besar. Distribusi panjang akan membuat harganya mahal,” ujar Tulus.

 

Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas, elpiji 3 kilogram hanya untuk rumah tangga dengan belanja maksimal Rp1,5 juta/bulan dan usaha mikro dengan omset maksimal Rp50 juta/bulan. Tetapi pengaturan itu sulit diterapkan di lapangan, karena ketidakjelasan regulasi.

 

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, regulasi tersebut tidak tegas menyatakan siapa yang berhak menggunakan elpiji subsidi 3 kilogram dan tidak tegas menyatakan penggunaan elpiji 3 kilogram. Kondisi itu membuat siapa saja bisa membeli elpiji 3 kilogram dalam jumlah yang semaunya pula.

 

“Apalagi ketika ada petinggi di negeri yang mengeluarkan pernyataan terbuka ke publik, bahwa orang tidak mampu bisa gunakan elpiji bersubsidi. Maka terbukan peluang orang mampu sekalipun akan dan menganggap dirinya sebagai orang tidak mampu yang boleh beli elpiji subsidi 3 kilogram,” ujar Sofyano.

 

Ia menegaskan, fenomena migrasi pengguna elpiji non subsidi isi tabung 12 kilogram ke 3 kilogram sulit dihindari. Indikasinya, kebutuhan elpiji subsidi 3 kilogram dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. Bahkan, kuota elpiji 3 kilogram dan kebutuhan 3 kilogram sejak berjalannya konversi minyak tanah ke elpiji, tidak mencerminkan konsumsi yang sebenarnya. “Pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi sepertinya nyaris tidak diperhitungkan secara cermat oleh Pemerintah dan DPR dalam menentukan kuota elpiji 3 kilogram,” tuturnya.

 

Menurutnya, indikasi penyelewengan elpiji 3 kilogram ke tabung 12 kilogram perlu dilakukan pembuktian berdasarkan data dan fakta yang akurat, dan harus dipertanggung jawabkan secara hukum. “Saya tidak yakin sepenuhnya bahwa jika terjadi kelangkaan, maka ini secara otomatis dinyatakan akibat terjadinya penyelewengan. Jika ada dugaan elpiji 3 kilogram diselewengkan ke elpiji tabung 12 kilogram, seharusnya volume penjualan akan turun drastis. Sementara data dari tahun ke tahun nyaris menunjukkan penjualan elpiji 12 kilogram stagnan,” tuturnya.

 

Saat ini konsumsi elpiji subsidi 3 kilogram telah mencapai sekitar 5 juta ton/tahun. Sedangkan konsumsi elpiji non subsidi yang hanya 1,27 Ton/tahun. Kondisi itu menunjukkan bahwa banyak kelas menengah dan sebagian kelas atas beralih mengunakan elpiji subsidi 3 kilogram, karena memang peraturan tentang penggunaannya yang sangat tidak jelas. Dalam regulasi harusnya diatur secara tegas, siapa yang berhak menggunakan elpiji 3 kilogram, disertai sanksi jika ada yang melanggar.

 

Subsidi terhadap elpiji 3 kilogram buat orang tidak mampu, harus tetap jadi prioritas pemerintah. Tetapi bukan berarti Pemerintah harus mensubsidi dalam jumlah yang sangat besar. Pemerintah perlu memperhatikan harga elpiji yang sudah sejak tahun 2007 sampai saat ini tidak ada kenaikan. Bandingkan saja dengan tarif dasar listrik yang sudah naik beberapa kali, ternyata ini tidak menjadi ‘masalah’ serius bagi pemerintah dan masyarakat.