Abrar Saleng*
BANJIR bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan betapa rentannya negeri ini terhadap ketidakseimbangan ekologis. Namun yang lebih menyedihkan, bencana yang terjadi bukan semata “bencana alam”. Dalam perspektif filsafat hukum sumber daya alam (SDA), istilah itu tidak tepat. Yang terjadi adalah bencana akibat ulah manusia, karena alam sejatinya hanya merespons kerusakan yang ditimbulkan oleh tangan manusia.
Al-Qur’an memberikan peringatan yang sangat jelas. Dalam QS Al-A’raf: 56, Allah mengingatkan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan menciptakannya dalam keseimbangan. Pesan ini menunjukkan bahwa keseimbangan adalah fitrah bumi. Ketika manusia merusaknya, alam bekerja mengembalikan keseimbangan itu sering kali melalui banjir, longsor, atau kekeringan.
Ketentuan lainnya, QS Ibrahim: 7, memberikan dimensi moral yang lebih mendalam: “Jika kamu bersyukur, Aku akan menambah nikmat; tetapi jika kamu kufur, maka azab-Ku sangat pedih.” Dalam konteks ekologis, ayat ini mengingatkan bahwa kufur nikmat terhadap SDA adalah mengambil tanpa batas, merusak tanpa tanggung jawab, dan mengabaikan kepentingan generasi mendatang sehingga memunculkan balasan berupa kerusakan dan bencana.
Di sinilah kita harus menyadari bahwa semua pihak memiliki bagian tanggung jawab. Tidak ada satu pun yang boleh cuci tangan dan berhenti saling menyalahkan.
Pemerintah: Insyaf atas Tugas Mengatur, Mengurus dan Mengawasi
Pemerintah adalah pemegang mandat konstitusional untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi pemanfaatan SDA. Perizinan bukanlah stempel administratif, tetapi alat pengendalian untuk menjaga keseimbangan ekologis. Namun sering kali izin diberikan, pengawasan tidak dilakukan, dan pelanggaran dibiarkan.
Kelemahan pengawasan, minimnya tenaga teknis, kurangnya penggunaan teknologi real time, dan kadang konflik kepentingan menjadi akar persoalan. Ketika bencana terjadi, pemerintah baik pusat maupun daerah sering baru menyadari bahwa pengawasan yang lemah adalah pintu masuk kerusakan.
Saatnya pemerintah taubat regulatif dengan memperketat perizinan berbasis risiko, meningkatkan transparansi, memperkuat pengawasan lapangan, serta menindak tegas setiap pelanggaran. Pengelolaan SDA harus kembali pada mandat UUD 1945 yaitu sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, bukan kemudharatan mereka.
Pelaku Usaha: Insyaf atas Etika Pemanfaatan dan Profit yang Proporsional
Pelaku usaha, terutama sektor ekstraktif seperti tambang, sawit, hutan, energi, dan konstruksi, memegang peran yang sangat besar. Banyak perusahaan sudah patuh. Namun kita juga tahu bahwa sebagian masih memandang SDA sebagai objek eksploitasi dan sumber produksi belaka tanpa batas.
Padahal, bisnis yang baik adalah bisnis yang menjaga keberlanjutan (sustainability). Apabila daerah hulu digunduli, jika reklamasi diabaikan, jika sungai ditutup sedimen, maka pelaku usaha tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga dirinya sendiri. Kerugian reputasi, tuntutan hukum, sanksi administrasi, hingga gangguan operasi adalah risiko nyata.
Saatnya pelaku usaha taubat korporatif dengan menjalankan standar lingkungan yang ketat, membuka data lingkungan secara transparan, melaksanakan reklamasi-revegetasi tepat waktu, dan memastikan seluruh rantai bisnisnya tidak menciptakan kerusakan.
Masyarakat: Insyaf atas Perilaku yang Berkontribusi pada Kerusakan
Tidak sedikit kerusakan ekologis berasal dari praktik sehari-hari masyarakat melalui pembukaan lahan dengan cara bakar, pembuangan sampah ke sungai, pembangunan permukiman di daerah rawan, hingga perdagangan kayu ilegal.
Masyarakat sering menjadi korban, tetapi harus jujur bahwa masyarakat juga dapat menjadi penyebab. Karena itu, kesadaran ekologis harus ditanamkan melalui pendidikan, penyuluhan, dan penguatan adat. Banyak hukum adat yang living law mengajarkan keseimbangan, tetapi nilai-nilai itu semakin dilupakan.
Saatnya masyarakat melakukan taubat sosial dengan menjaga sungai, tidak lagi membakar hutan, mendukung penegakan hukum lingkungan, dan terlibat aktif mengawasi pelaksanaan izin usaha di wilayahnya.
Akademisi dan Ahli: Insyaf atas Tugas Mengawal Nalar Kebijakan
Para ilmuwan, ahli lingkungan, dan guru besar memiliki peran luar biasa dalam mengawal kebijakan publik. Namun tidak semua ilmu sampai ke meja pengambil keputusan. Kadang akademisi terlalu sibuk berteori, sementara pemerintah sibuk berpolitik.
Keduanya harus dipertemukan. Ilmu harus diberi ruang lebih besar untuk menentukan arah kebijakan SDA. Analisis daya dukung, peta rawan bencana, kajian lingkungan strategis, hingga riset perubahan iklim harus menjadi rambu wajib dalam pembangunan.
Saatnya akademisi melakukan taubat intelektual dan memastikan ilmu tidak berhenti di jurnal, tetapi masuk ke ruang kebijakan dan mempengaruhi keputusan pengambil kebijakan.
Tokoh Agama dan Budaya: Insyaf atas Peran Moral Menjaga Syukur
Kerusakan alam sesungguhnya adalah krisis moral. Tokoh agama dan budaya memiliki posisi strategis untuk mengingatkan umat bahwa merusak alam adalah bentuk kufur nikmat, sebagaimana diingatkan QS Ibrahim: 7.
Kesadaran religius dapat menjadi energi kolektif untuk menjaga bumi sebagai amanah. Jika masyarakat memahami bahwa merusak alam sama dengan mengingkari karunia Allah, maka pengelolaan SDA akan berubah menjadi ibadah.
Bencana adalah Cermin, Bukan Kutukan
Kita harus berhenti menyalahkan alam karena Alam tidak jahat ia hanya bekerja sesuai hukum keseimbangannya. Ketika manusia melampaui batas, alam merespons. Karena itu, banjir bandang di Sumatera harus menjadi cermin nasional. Kita tidak perlu mencari kambing hitam, mari kita harus menghentikan saling menyalahakan dan kita perlu berusaha mencari kesadaran.
Semua pihak pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, akademisi, tokoh agama dan tokoh budaya melakukan taubat ekologis sesuai perannya, maka Indonesia akan memasuki era baru yang saya sebut era pengelolaan SDA yang bersyukur, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Semoga peringatan ini menjadikan kita insyaf dan kembali menjaga bumi sebagaimana amanah Sang Pencipta. Allah telah memperingatkan manusia melalui wahyu dan alam memperingatkan manusia melalui realitas.
* Guru Besar Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam UNHAS






