Beranda Batubara Cina: Kebijakan Lingkungan Menekan Harga Komoditi

Cina: Kebijakan Lingkungan Menekan Harga Komoditi

Beijing, TAMBANG. SEBUAH riset yang tahun lalu dilaksanakan koran The Wall Street Journal menunjukkan adanya sedikit perbaikan kualitas udara di Beijing. Meski demikian, para penguasa di Beijing belum puas. Bahkan, sebuah situs internet yang memuat film dokumenter tentang masih buruknya udara di Beijing, harus menghilangkan film itu dari situsnya.

 

Koran The National dari Uni Emirat Arab, dalam terbitannya hari ini memuat kolom yang ditulis Robin Mills, Kepala Konsultan Manaar Energy dan pengarang buku laris ‘’The Myth of the Oil Crisis’’.

 

Robin Mills mengatakan, apa yang dicapai Beijing dalam pengelolaan lingkungannya menunjukkan kemajuan luar biasa, mengingat selama ini negara itu memiliki ketergantungan besar terhadap batu bara. Tetapi, keberhasilan itu membuat penderitaan bagi para pemasoknya.

 

Cina, yang rakus akan energi, menjadi faktor kunci pasar energi selama sepuluh tahun terakhir. Hampir separuh peningkatan konsumsi minyak dari tahun 2000 hingga 2013 berasal dari Cina. Sejak 1990, konsumsi batu baranya tumbuh tiga kali lipat. Konsumsi batu bara meningkat empat kalinya. Demikian pula pemakaian gasnya, tumbuh besar.

 

Eksekutif perminyakan Cina bertebaran di Khartoum (Sudan), Astana (Kazakhstan), Houston (Amerika Serikat), Calgary (Kanada), dan Moskow, untuk mencari kontrak minyak. Harga minyak, gas, batu bara, tembaga, aluminium, dan bahkan gandum, mencapai puncak tertinggi pada 2008.

 

Sayangnya, permintaan energi oleh Cina kini menimbulkan dua persoalan. Perekonomian akan tumbuh lebih lambat, sehingga permintaan akan energi juga akan menurun. Mereka akan lebih hemat menggunakan energi. Para pemasok komoditi juga menghadapi peringatan.

 

Dunia pun menghadapi kenyataan, sumber daya minyak lebih banyak daripada permintaan.

 

Jika Cina ingin terus melanjutkan pertumbuhannya yang telah dicapai dalam tiga dekade terakhir, negeri ini menghadapi beberapa tantangan. Di bidang energi, Cina harus meragamkan sumber energinya, serta tetap menjalankan kebijakan langit bersih. Cina juga harus menyeimbangkan ekonominya, dari industri berat menjadi jasa dan pengetahuan.

 

Semua upaya ini akan memengaruhi permintaan energi. Kita mungkin harus probabilitas terhadap jatuhnya Partai Komunis dan pergolakan politik di Cina, sebagaimana dilansir oleh akademisi Amerika Serikat, David Shambaugh, yang dimuat di koran The Wall Street Journal.

 

Krisis ekonomi yang dipicu oleh penumpukan utang macet dan investasi berlebihan telah berulang kali diprediksi, tapi sejauh ini bisa teratasi. Yang jelas ekonomi telah bergeser ke jalur lambat – setelah secara teratur tumbuh dua digit. Tahun ini mungkin menjadi sekitar 7 persen atau kurang.

 

Jatuhnya harga minyak menyadarkan dunia, bahwa sumber daya alam yang tersedia lebih banyak ketimbang kebutuhan.

 

Strategi baru pertumbuhan Presiden Xi Jinping adalah mengubah dari infrastruktur dan industri berat ke jasa dan manufaktur bernilai tambah tinggi. Pemerintah juga telah berbuat untuk mengurangi kapasitas berlebih di industri baja, semen, dan batu bara. Konsumsi batu bara pada 2020 direncanakan hanya naik 10,5% dibanding konsumsi tahun ini.

 

Efisiensi energi terus digenjot. Standar konsumsi bahan bakar untuk mobil dibuat lebih tinggi dibanding di Amerika, dan pajak bahan bakar juga ditingkatkan. Pemakaian gas alam, nuklir, dan energi terbarukan lainnya akan menurunkan pertumbuhan pemakaian batu bara.

 

Penurunan ini merupakan berita buruk bagi produsen batu bara dan bijih besi di Australia, Indonesia, Brazil, dan produsen minyak di Timur Tengah, Rusia, Venezuela, dan negara di sekitar Selat Kaspi.

 

Cina tetap akan menjadi konsumen besar energi. Tetapi dia bukan lagi pemain utama, yang menjadi tumpuan semua produsen.

 

Foto: Fuzhou, kota dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Cina.

Sumber foto: www.brookings.edu