Beranda ENERGI Migas ESDM Kembangkan Teknologi Peredam Emisi Karbondioksida

ESDM Kembangkan Teknologi Peredam Emisi Karbondioksida

Shute Creek Treating Facility di LaBarge, Wyoming, Amerika Serikat milik ExxonMobil. Memanfaatkan teknologi penangkap karbon untuk EOR di ladang migas yang ada di sekitarnya.

Jakarta-TAMBANG. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah mengembangkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage / CCS) untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan akibat penggunaan bahan bakar fosil, baik minyak, gas bumi, maupun batu bara.

 

“Teknologi CCS harus dikaji mendalam karena akan berdampak signifikan terhadap pengolahan energi, ini adalah waktunya kita mengkapitalisasi dan mengorganisasi teknologi CCS,” kata Menteri ESDM, Sudirman Said saat membuka International CCS Workshop di Jakarta, Selasa (17/2).

 

Ia menuturkan, dalam laporan World Resources Institute yang dikeluarkan pada 2011, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketergantungan tinggi kepada energi fosil yang menghasilkan emisi CO2. Selain itu, Indonesia juga sedang meningkatkan sumber energi dari batu bara yang harganya lebih murah.

 

“Sayangnya dalam waktu dekat kita masih tergantung ke batu bara. Itu bukan sumber energi yang bersih juga. Untuk itu penggunaan CCS tidak bisa kita hindari,” ungkapnya.

 

Sudirman menjelaskan, pada intinya teknologi dapat menangkap CO2 dari elemen penghasil CO2 yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan fasilitas pengolahan gas alam. CO2 tersebut kemudian dikompresi menjadi cair agar mudah diangkut ke tempat penyimpanan yang sesuai.

 

Pengangkutan CO2 yang telah dikompresi tersebut bisa menggunakan berbagai jalur seperti pipa offshore atau kapal yang kemudian disimpan di tambang-tambang minyak atau gas yang sudah tua atau yang sudah tidak berproduksi.

 

Aplikasi teknologi CCS dalam Enhanced Oil Recovery (EOR), katanya, merupakan strategi yang sesuai dengan karakteristik formasi geologi di Indonesia. “Banyak sumur migas tua yang dapat dimanfaatkan kembali dengan teknologi CO2-EOR,” tuturnya.

 

Metode ini dinilai berbiaya rendah, dimana sumber dayanya disuplai dari pengolahan gas alam, sementara “depleted reservoir” migas menjadi tempat penyimpanan.

 

Sudirman mengatakan bahwa kesediaan pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif bagi operator migas yang mengaktifkan kembali sumur tua akan mendorong operator terlibat aktif mengembangkan teknologi CCS khususnya di subsektor migas.

 

“Teknologi CCS perlu dikaji lebih dalam karena bisa memberikan dampak yang baik. Studi ini sudah cukup lama, sudah waktunya kita menginventarisir,” ungkapnya. Terlebih, karena teknologi CCS juga sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju.