Beranda Batubara ESDM Tanggapi Nasib Batu Bara di Tengah Gempuran Bisnis EBT

ESDM Tanggapi Nasib Batu Bara di Tengah Gempuran Bisnis EBT

energi baru terbarukan
ilustrasi. Dok: Rian.

Jakarta, TAMBANG – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menanggapi nasib batu bara di tengah gempuran bisnis energi baru dan terbarukan (EBT). Ke depan, emas hitam ini diprediksi masih menjadi sumber energi kelistrikan dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyebut bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan pembangkit berbahan baku batu bara yang besar. Sehingga dengan penetapan target net zero emission (NZE) tidak lantas menghilangkan batu bara sebagai salah satu sumber pembangkit listrik utama nasional dalam waktu dekat.

“Kontrak PLTU berkisar 25 hingga 30 tahun, sehingga dari simulasi yang kita lakukan di NZE, puncak kita menggunakan batu bara itu antara tahun 2030 hingga 2035, setelah itu akan melandai sejalan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sudah selesai masa kontraknya,” ujar dia, dikutip dalam keterangan resmi, Jumat (1/12).

Dadan bilang setidaknya, membutuhkan waktu hingga tahun 2057 untuk bebas batu bara sesuai dengan peta jalan menuju NZE yang digagas Kementerian ESDM, sembari secara paralel, pemerintah memperkuat basis pemanfaatan EBT untuk menopang energi nasional. Karena pemerintah juga berkewajiban untuk memastikan ketersediaan energi terhadap masyarakat.

EBT memang tengah menjadi primadona sebagai bahan baku energi yang ramah lingkungan dan rendah emisi. Pemerintah juga membidik target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, yang akan menggunakan EBT sebagai tulang punggung ketahanan energi nasional. Meski memiliki ambisi besar tersebut, pemerintah tidak serta merta langsung meninggalkan energi berbasis fosil, salah satunya batu bara.

Untuk menyuplai kebutuhan energi kepada Masyarakat ketika penggunaan batu bara mulai melandai, Dadan menyebutkan bahwa pemerintah akan mengembangkan dan menyediakan energi yang lebih bersih dari EBT. Oleh karena itu, batu bara yang tidak dipakai untuk bahan baku pembangkit bisa dimanfaatkan dalam bentuk yang sudah diolah dan lebih hijau melalui proses hilirisasi.

“Kita ini harus mengarah ke green product, kita harus menciptakan green industri disini, karena memang nanti akan dilihat dari sisi prosesnya itu bagaimana sih cara memproduksi produk ini,” tuturnya.

Dadan menjelaskan produk batu bara bisa diubah menjadi Dimethyl Ether (DME) melalui proses gasifikasi, yang akan bisa digunakan sebagai pengganti Liquefied petroleum gas (LPG), dengan konsumen yang sudah ada. “Sebelum menjadi DME juga itu bisa menjadi methanol. Metanol ini banyak dipakai di industri-industri, kita bisa pakai metanol tapi dengan syarat nanti prosesnya harus bersih enggak ada emisi, menjadi produk hijau,” tambahnya.

Dengan produk hijau, Dadan menyebutkan akan mudah diekspor ke luar negeri, karena negara lain, khususnya eropa akan melihat dari sisi proses bagaimana cara memproduksi suatu barang. Hal itu menjadikan green industry dan green product akan menjadi komoditas yang kompetitif di pasar internasional.

“Misalkan ekspor ke Eropa mulai diberlakukan tahun 2026 kalau saya tidak salah, nanti mereka akan tanya cara produksinya seperti apa, untuk mengetahui berapa karbonnya, nah kalau tinggi kalau melewati batas mereka akan terapkan pajak karbon terhadap produk tersebut,” pungkasnya.