Beranda Tambang Today Umum Gubernur Sulteng Marah, Tuding Industri Smelter Minim Kontribusi

Gubernur Sulteng Marah, Tuding Industri Smelter Minim Kontribusi

Jakarta, TAMBANG – Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Longki Djanggola marah lantaran industri smelter dinilai tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap daerah. Pasalnya, perusahaan smelter yang selama ini beroperasi di Morowali, tidak dikenai kewajiban setor royalti ke Pemerintah Daerah (Pemda).

“Jangankan setor ke daerah untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana Corporate Social Responsibility (CSR) saja tidak diberikan kepada masyarakat di sekitar tambang. Padahal, smelter tersebut mendapatkan keuntungan yang luar biasa besar dari hasil olahan bijih nikel,” tegas Longki melalui keterangan resminya, Minggu (27/9) petang.

Saat ini, Pemda tidak menerima dana bagi hasil dari hasil produksi smelter. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017, produk nickel pig iron dari smelter dikenakan tarif nol persen.

Perusahaan smelter yang beroperasi di daerahnya, sambung Longki, telah menerima insentif dari pemerintah pusat berupa tax holiday, tax allowance, bebas bea masuk termasuk bebas bea keluar untuk hasil olahan smelter yang diekspor. Jadi, perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk kekayaan dan merusak lingkungan di daerah.

“Kita terus dirugikan dari aktivitas tambang itu,” tandasnya.

Menurut Longki, setelah terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor Tahun 2012, Pemda berharap industri smelter dapat memberikan peningkatan PAD, karena smelter dibangun di daerah, khususnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.

“Tetapi ternyata, harapan itu tidak sesuai kenyataan,” bebernya.

Daerah Minta Jatah

Situasi tersebut diperburuk lagi akibat dualisme perizinan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemilik smelter, yakni IUP OP Khusus atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, dan IUI atau Izin Usaha Industri yang diterbitkan Kementerian Perindustrian.

Perusahaan smelter terbesar di Indonesia saat ini berada di wilayah Sulteng, tetapi kata Longki, tidak ada kontribusi yang diberikan kepada daerah. Sejauh ini, setidaknya ada 11 smelter yang beroperasi di Sulteng.

Dari hasil kalkulasi, jatah dana bagi hasil yang semestinya diperoleh dari produksi 6,3 juta ton nickel pig iron per tahun dari smelter itu, adalah sekitar Rp 212,7 triliun. Untuk Provinsi Sulteng, seharusnya mendapat bagian Rp 1,36 triliun per tahun.

Kemudian untuk kabupaten atau kota lokasi smelter mendapat bagian sebesar Rp 2,72 trilun, dan kabupaten atau kota tetangga memeproleh jatah sebesar Rp 226,9 miliar.

“Tapi daerah dapat apa dari semua itu ?” tanya Longki.

Lebih lanjut, pemberlakuan IUP Khusus dengan royalti hasil pengolahan atau pemurnian akan sangat menolong Pemda sebagai wilayah penghasil. Jika menggunakan IUI, pengusaha hanya dikenakan PPh 21, PPh 22, PPh 24 dan PPh 25 tanpa ada peningkatan nilai tambah di daerah.

“Belum lagi hasil dari PPN para pekerja, jika berkantor pusat di Jakarta, maka pajaknya langsung dibayarkan di Jakarta, di daerah tidak dapat,” pungkas Longki.