Beranda Editorial Harapan Baru Dewan Senayan

Harapan Baru Dewan Senayan

Direktur Centre For Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso

Opini oleh Direktur Center for Indonesian Resources and Strategic Studies, Budi Santoso

 

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode teranyar, baru saja dilantik. Namun, ada kejanggalan yang ditunjukkan pada hari pelantikan itu. Kejanggalan yang membuat masyarakat resah. Saat pelantikan, banyak anggota Dewan yang berani absen. Mangkir di hari perdana mereka bekerja.

 

Potret tersebut menambah citra negatif bagi lembaga yang berkantor di kompleks parlemen Senayan, Jakarta itu. Berdasarkan riset beberapa media cetak dan online mengenai pengalaman Dewan periode sebelumnya, tercatat torehan kinerja negatif dalam merampungkan Undang-Undang (UU). Untuk tahun 2014-2019, hanya 91 UU yang disahkan dari target 189 UU, periode 2009-2014 hanya 126 UU dari 247 UU, periode 2004-2009 hanya 193 UU dari 284 UU, dan periode 1999-2004 hanya 175 UU dari 300 UU.

 

Demonstrasi massa yang terjadi akhir-akhir ini, cukup mengkawatirkan. Menimbulkan keguncangan terhadap kestabilan dan ketertiban. Hal semacam ini tidak boleh terjadi secara terus-menerus.

 

Tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan cukup rumit, baik persoalan dalam dan luar negeri, yang disebabkan oleh perubahan geopolitik. Keseimbangan kekuatan ekonomi yang beralih ke Asia, harus dapat diantisipasi oleh negara melalui legislasi, melalui produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR.

 

Undang-undang adalah produk politik. Sedangkan politik sendiri adalah puncak kecerdasan manusia. Untuk itu, legislasi harus mencerminkan kecerdasan manusianya.

 

Kebijakan negara dalam bentuk birokrasi dan perundang-undangan harus mampu mengantisipasi pengelolaan negara yang tidak lagi berbasis tekstual belaka, tetapi peraturan dan perundang-undangan yang berbasis objektivitas (tujuan). Meskipun, hal ini sebenarnya agak sedikit tertinggal kalau dibandingkan banyak negara lain yang lebih cepat maju karena menggunakan aturan berbasis inovasi.

 

Undang-undang harus bisa mengantisipasi presenden yang akan datang. Konsep aturan yang hanya berjibaku mengatur apa-apa yang sudah terjadi, akan cepat ketinggalan zaman. Bahkan berpotensi menjadi hambatan daripada mendorong pembangunan. Karena tingkat persaingan sudah tidak linier lagi, tetapi mengikuti deret ukur (eksponensial).

 

Banyaknya anggota Dewan yang berlatar pengusaha, merupakan hal yang menggebirakan. Catatannya, asalkan mereka bekerja berlandaskan moralitas dan integritas. Kehadiran mereka diharapkan dapat menumbuhkan kegiatan usaha dengan tetap menjaga kepentingan negara.

 

Kondisi demikian dapat berbalik arah, justru menjadi malapetaka apabila anggota DPR tersebut kerja tanpa moralitas dan integritas. Pengusaha dengan kekayaannya dapat membeli politik untuk memuluskan kepentingannya. Hal ini terlihat dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba), yang diketahui arahnya menguntungkan pengusaha, dan malah melemahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta menumpulkan peran negara.

 

Kalau ditinjau berdasarkan pengalaman pekerjaan, anggota Dewan teranyar memiliki rekam jejak sebagaimana berikut; legislator (60.2%), non pemerintahan (36.7%), kepala daerah dan wakil kepala daerah (3.1% ). Data lainnya menyebutkan, status keanggotaan di mana hampir pernah menjabat (49.7%) dan wajah baru (50.3%).

 

Kecenderungan akan menghasilkan produk RUU yang kontroversial seperti kemarin, dapat terjadi walaupun ada wajah baru di Senayan. Tetapi pengalaman sebagai legislator yang cukup besar, juga tidak dapat dihindarkan dari potret prestasi lama.

 

Yang menggebirakan adalah, berkaitan dengan dukungan politik terhadap koalisi Pemerintah sebesar 60%. Diharapkan, kerja Pemerintah lebih mendapat dukungan dari DPR. Sehingga tidak menghabiskan energi untuk hal-hal yang tidak substansial. Di sisi lain, kondisi ini juga dapat juga disalahgunakan oleh Pemerintah dalam membuat kebijakan karena lemahnya oposisi. Dalam konteks ini, sikap kritis rakyat terhadap Pemerintah sangat diperlukan.

 

Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan, bahwa integritas instansi Pemerintah menurun dilihat dari praktik suap, nepotisme, gratifikasi dalam promosi jabatan dan pelayanan publik. Hal ini perlu mendapat perhatian dari rakyat terutama dikaitkan dengan koalisi yang lebih besar mendukung Pemerintah.

 

Jangan sampai Pemerintah merasa “nyaman” dengan praktik yang memiliki integritas buruk. Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi kabinet Presiden Joko Widodo, baik soal aparatur negara di level pusat maupun daerah.

 

Harapan dari masyarakat yang terbesar dari anggota DPR, adalah keperpihakan pada rakyat (34.4%), mampu membawa perubahan (27.2%), disiplin dan semangat kerja (16.1%), tidak korupsi (18.1%), serta yang paling penting adalah kemampuan menyelesaikan pembahasan undang-undang dan tidak terjerat kasus korupsi (60%). Data tersebut menunjukan harapan rakyat sangat besar kepada anggota DPR agar bekerja keras dan bersih.

 

Terakhir, semoga DPR dapat menghasilkan aturan yang tidak mengurusi hal-hal kecil, urusan pribadi rakyat yang dapat diselesaikan secara “adat” dan meringankan hukuman koruptor, penjahat kerah putih.

 

Selamat bekerja dan kami akan terus mengawasi dan tidak segan kami turun ke jalan apabila perilaku yang jauh dari harapan rakyat terjadi.