Beranda Korporasi Harita Nikel Siapkan Rp 15 Triliun Untuk Tambah Kapasitas Smelter

Harita Nikel Siapkan Rp 15 Triliun Untuk Tambah Kapasitas Smelter

default

Jakarta,TAMBANG,- Harita Nikel, salah satu kelompok usaha yang selama ini gencar melakukan kegiatan hilirisasi terus menambah kapasitas pabrik pengolahan nikelnya (smelter). Perusahaan menyediakan investasi hingga USD1 miliar atau setara dengan Rp.15 triliun untuk menambah kapasitas smelter yang dibangun di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Saat ini Harita Nikel mengoperasikan tambang nikel lewat dua anak usahanya yakni PT Gane Permai Sentosa (PT GSP) dan PT Trimegah Bangun Persada (TBP) . TBP mengantungi IUP yang akan berakhir pada 8 Februari 2030 dengan luas 4.247 ha. TBP menambang bijih nikel untuk dipasok ke pabrik pengolahan yang dikembangkan PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan pabrik pengolahan dan pemurnian HPAL, serta ekspor bijih. Sementara PT Gane Permai Sentosa (GPS) juga menambang nikel di atas lahan seluas 1.128,83 Ha. GPS mengantongi IUP yang berlaku hingga 22 Maret 2030. Produksi penambangan bijih nikel sebagian besar dipasok sebagai bahan baku pabrik pengolahan di smelter PT MSP.

Tidak hanya di hulu, Harita Nikel sejak Pemerintah menetapkan larangan ekspor bijih nikel sudah membangun smelter. Mulanya perusahaan membangun smelter pirometalurgi dengan teknologi RKEF lewat PT Megah Surya Pertiwi (MSP). Produk yang dihasilkan adalah feronikel dengan kapasitas 240.000 metrik ton per tahun feronikel dari 4 line pengolahan. Lalu ada juga PT Halmahera Jaya Ferronicel (HJF) yang beberapa waktu lalu mulai produksi perdana berupa ferronikel.

Harita juga membangun smelter dengan tekonologi hidrometalurgi lewat anak usahanya PT Halmahera Persada Lygend (HPL). Dalam presentasi singkatnya, Stevi Thomas, Head of External Relation Harita Nikel menjelaskan PT Halmahera Persada Lygend (HPL) membangun pabrik pengolahan nikel dengan teknologi High Presure Acid Leacing (HPAL). Dari refinery ini dihasilkan produk yang menjadi bahan baku untuk baterai kendaraan listrik. “Harita Nikel menjadi perusahaan pertama yang membangun smelter HPAL pertama di Indonesia,”terang Stevi.

Refinery ini yang telah beroperasi sejak Juni 2021 dengan kapasitas 365.000 wet metric ton per tahun dalam MHP. Menariknya untuk refinery ini nikel yang diolah adalah nikel kadar rendah yang selama ini tidak termanfaatkan.

Sementara Head of HSE & Sustainability Harita Nikel Tony H. Gultom menjelaskan bahwa nikel saat ini telah menjadi komoditas incaran global seiring maraknya produksi mobil listrik. Hal ini disebabkan nikel adalah salah satu bahan baku utama untuk menghasilkan bahan baku baterai. “Masa depan industri nikel ke depan sangat cerah. Kita beruntung memiliki potensi sumber daya alam nikel,” terang Tony saat media gathering di Bogor, Sabtu (5/11/).

Tony juga mengakui bahwa nikel sebelumnya digunakan 70% untuk memenuhi produk stainles steel dan 16% baterai. Ke depan, sekitar 2040 persentasinya akan berubah, yaitu 40% memasok kebutuhan baterai dan sisanya untuk stainless steel. Harita menjadi pionir dalam memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP). “Kami belum berencana mengembangkan usaha pengembangan industri penghasil baterai karena tak mudah,” ujar Tony.

Di kesempatan itu Tony juga menjelaskan bahwa pihak telah berhasil memanfaatkan sisa hasil pengolahan (SHP) untuk sesuatu yang bermanfaat. Slag nikel dari pabrik pengolahan smelter feronikel dimanfaatkan untuk batako yang kualitasnya kelas satu. Ia mengakui bahwa salah satu tantangan dari kegiatan hilirisasi adalah pemanfaatan sisa hasil pengolahan. Untuk komoditi nikel jumlahnya sangat banyak, yaitu 90-97% karena bijih tidak bisa masuk line produksi seluruhnya. “Di berbagai dunia persoalan SHP menjadi penting.Kami memanfaatkan semua SHP atau slag nikel jadi batako kelas premium,” tutup Tony. Ini terjadi setelah slag dikeluarkan dari kelompok limbah B3.