Beranda Mineral Hilirisasi Tembaga: ESDM Pakai Skema Satu Smelter

Hilirisasi Tembaga: ESDM Pakai Skema Satu Smelter

Jakarta – TAMBANG. Hari ini (20/1) Pemerintah mengusulkan skema satu pabrik pemurnian (smelter) untuk empat Kontrak Karya (KK) yang seharusnya sudah selesai pada tahun 2017. Perundingan dimulai hari Jumat ini untuk menentukan langkah selanjutnya.

 

“Kita undang perusahaan yang hasilkan konsentrat di tembaga, dan mengolah biji tembaga ke konsentrat, kami undang pemegang IUP dan KK. Tapi yang hadir cuma Freeport, Newmont, Gorontalo mining dan Kalimantan Suryakencana di Kalteng,” ujar Dirjen Minerba, R. Sukhyar, Rabu lalu (18/2).

 

Menurut Sukhyar, selain empat perusahaan KK terdapat pula 46 IUP yang menambang biji tembaga.  Pertemuan ini juga ditujukan untuk memetakan produksi konsentrat tembaga sampai 2025 walaupun Sukhyar mengklaim sudah mempunyai data hingga 2041.

 

Gorontalo Mining akan masuk produksi pada 2025 sebesar 50 ribu ton, dan pada 2028 mencapai 300 ribu ton. Sedangkan Kalimantan Surya 80 ribu ton pada tahun 2025. “Tidak mingkin semua KK dan IUP punya pengolahan sendiri, perlu ada kerjasama antar perusahaan,” paparnya.

 

PT Newmont Nusatenggara misalnya, kata Sukhyar, perusahaan itu tidak sanggup jika harus membangun sendiri karena produksi Newmont hanya 100 ribu ton atau bahkan kurang sehingga tidak bisa memurnikan.

 

“Jadi kalau kapasitas penuh ada, bisa dialokasikan ke tempat lain,” ujar Sukhyar.

 

Pemerintah Dianggap Lembek

 

Sebelumnya Pemerintah mendapatkan kritik terkait rencana pemberian izin ekspor kepada PT Newmont Nusa Tenggara setelah sebelumnya juga memberikan izin serupa pada PT Freeport Indonesia.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES), Erwin Usman mengatakan, dalam UU Minerba No./2009 ditetapkan bahwa pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

Menurutnya, persoalan izin ekspor pada Freeport dan Newmont hanya masalah kecil. Masalah terbesarnya adalah bagaimana negara bisa menunjukkan kedaulatannya atas sumber daya alam sesuai amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945.

 

“Sudah cukup korporasi seperti Newmont dan Freeport, selama hampir setengah abad, merampok kekayaan bangsa Indonesia. Mereka terus menikmati serangkaian kemudahaan dan ‘karpet merah’ untuk tetap menjarah kekayaan SDA kita.”

 

Erwin menegaskan,  Newmont dan Freeport dengan mudah bisa menabrak konstitusi dan UU Minerba hanya dengan modal Nota Kesepahaman (MoU), yang secara hukum kedudukannya berada di bawah UU. Apalagi MoU sebelumnya juga diingkari Newmont.

 

Menanggapi hal itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menegaskan, pembangunan smelter tetap harus diselesaikan sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah Mineral.

 

“Termasuk pembangunan smelter di Gresik. Kalau harus selesai 2017, ya itu harus selesai,” ungkap dia.

 

Terkait pembangunan smelter nasional, seperti pada beberapa perusahaan tambang yang dijelaskan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) beberapa waktu lalu, hal itu merupakan keinginan pemerintah untuk mensinergikan pengolahan dan pemurnian hasil tambang dan batu bara oleh perusahaan-perusahaan tambang raksasa.

 

“Jadi tidak ada niat untuk mengundurkan aturan ini, apalagi menunda, atau mengulur. Apalagi ada kata-kata seolah pemerintah mencla-mencle,” pungkas Sudirman.

(edit:vdj)