Beranda Tambang Today Umum Indonesia Kalah Di WTO, Ini Pendapat Ketua Umum Perhapi

Indonesia Kalah Di WTO, Ini Pendapat Ketua Umum Perhapi

Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli

Jakarta,TAMBANG, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menilai kekalahan Indonesia dalam gugatan di World Trade Organization (WTO) tidak akan banyak berpengaruh pada industri nikel nasional. Ini disampaikan Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli pada Majalah TAMBANG.

“Hasil putusan sidang WTO menyatakan Indonesia kalah dan melanggar ketentuan WTO. Namun, pemerintah akan mengambil langkah banding untuk itu. Kita harapkan langkah banding ini dapat memenangkan Indonesia. Oleh karenanya Pemerintah harus menyiapkan novum baru yang dapat diterima panel,”terang Rizal.

Salah satunya adalah amanat Konstitusi yakni UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Ini harus menjadi pijakan kita dalam bernegosiasi nantinya. Negara sendiri yang harus mengatur bukan negara lain. Uni eropa tentu saja akan memanfaatkan WTO untuk kepentingan mereka yang notabene negara industri maju dan ingin menguasai mineral startegis dan kritis untuk mendukung daya saing industri mereka,”terangnya.

Menurutnya WTO dengan kemenangan tersebut tentu saja mengharapkan agar beberapa regulasi termasuk UU diubah untuk memungkinkan bijih nikel kembali diekspor. “Namun kami meyakini hasil akhir gugatan ini tidak akan menghambat pembangunan smelter dan refinery di Indonesia. Program tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana. Saat ini sudah banyak smelter yang berdiri untuk menghasilkan produk antara. Juga untuk menghasilkan bahan baku bagi pembuatan baterei bagi EV,”tandas Rizal.

Dampaknya akan terasa menurut Rizal kalau Indonesia kalah lagi di sidang banding sehingga Pemerintah harus merevisi UU, PP, Kepmen terkait tata kelola komoditas nikel. Bisa saja kita harus kembali membuka keran ekspor bijih nikel untuk memenuhi ketentuan WTO tersebut,”ungkapnya.

Meski demikian kalau dilihat statistiknya, Uni Eropa sesugguhnya tidak banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia. Pada tahun 2008, Uni Eropa mengimpor hanya 2.3%. Negara-negara di benua biru ini lebih banyak mengimpor bijih nikel dari New Caledonia, Australia, Rusia dan lainnya . “Aneh juga kalau mereka menuntut untuk dibuka keran ekspor bijih nikel dari Indonesia. Tentu ada kepentingan yang jauh lebih besar dari itu. Mengingat nikel sekarang sudah menjadi primadona untuk transisi energy dan nikel sangat berperan penting dalam hal energy storage. Nikel berperan sangat penting dan menjadi mineral strategis dan kritis untuk itu,”ujarnya lagi.

Menurut Rizal langkah yang harus dilakukan pemerintah salah satunya adalah jangan terlalu mudah meratifikasi aturan-aturan global yang ujung-ujungnya menghambat pertumbuhan ekonomi kita. Pemerintah harus melihat kepentingan domestik terlebih dahulu dan mementingkan kepentingan dalam negeri terlebih dahulu. “Ingat di zaman Donald Trump, US pernah keluar dari perjanjian Paris karena dianggap merugikan kepentingan dalam negeri AS sendiri,”terangnya.

Hal lain yang dilakukan adalah mengumpulkan ahli-ahli hukum nasional dan pakar-pakar untuk mencari novum-novum atau alasan-alasan baru agar Indonesia bisa menang di tingkat banding nantinya. “Selanjutnya program hilirisasi tetap difokuskan sehingga penyerapan di dalam negeri dapat meningkat bahkan bila perlu semua bisa diserap di dalam negeri. Artinya pemerintah harus mendorong tumbuhnya industri hilir dan manufaktur agar nilai tambah sebesar-besarnya dapat diperoleh oleh Indonesia,”lanjutnya.

Apalagi menurutnya, pemerintah menargetkan Indonesia akan keluar dari Negara dengan pendapatan per kapita sedang menuju ke level yang lebih tinggi. Kemudian perlu mepersiapkan aturan-aturan apabila kita kalah nanti di tahap banding baik tentang pajak ekspor, royalty dan mekanisme DMO.