Beranda Batubara Ingin Batubara Tetap Digunakan, Teknologi Clean Coal Solusinya

Ingin Batubara Tetap Digunakan, Teknologi Clean Coal Solusinya

Jakarta,TAMBANG,- Batu bara diramal sedang memasuki masa suram. Tekanan masyarakat global untuk segera beralih ke sumber energi bersih menjadi penyebabnya. Namun hal tersebut tidaklah mudah karena sampai sekarang ketergantungan pada batu bara sebagai sumber energi masih tinggi. Secara khusus di negara-negara yang ada di Asia Pasifik. Konsumsi si emas hitam ini bahkan dalam tren yang terus meningkat.

Dalam konteks Indonesia, sejauh ini batu bara tidak sebatas sebagai sumber energi tetapi juga merupakan komoditi. Sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional masih terbilang besar. Di sisi lain, batu bara juga masih menjadi sumber energi terbesar Indonesia. Sementara sumber energi batu terbarukan yang diharapkan menjadi substitusi belum tumbuh.

Di sisi lain, Indonesia masih menyimpan cadangan batu bara yang cukup besar yakni mencapai 35 miliar ton sengan sumber daya sebesar 134 miliar ton. Dengan konsumsi yang sekarang, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan masih bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika digunakan sendiri dengan cara yang benar. Bahkan jika sebagian diantaranya diekspor, batu bara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang.

Oleh karenanya hal yang dibutuhkan saat ini adalah menemukan jalan tengah agar batu bara Indonesia tetap dimanfaatkan dan aspek lingkungan tetap terjaga. Rachmat Makkasau, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), mengatakan Indonesia dianugerahi cadangan dan sumberdaya batu bara yang masih bisa dimanfaatkan untuk 200-500 tahun mendatang.

“Untuk itu kita harus mencari cara ‘Clean Coal Process’, sambil tetap menerapkan EBT. Kalau Clean Coal Process dilakukan dan emisi bisa ditekan, bahkan ditiadakan maka tidak ada masalah kan dengan pemanfaatan batu bara?” ungkap Rachmat saat Seminar Energy for Prosperity : The Economic Growth Impacts of Coal Mining yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Kamis (14/3).

Rachmat mengatakan sampai saat ini batu bara masih merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batu bara untuk mengurangi emisi. Ia pun membayangkan suatu saat target sampai 2060, industri mulai pasang CCUS, penangkapan sulfur karbon, NOX dan lain-lain.

“Kita membayangkan yang terjadi dengan Indonesia kalau 50 tahun lalu semua PLTU di Indonesia tidak ada emisinya, semua yang keluar dari PLTU, karbon ditangkap sulfur NOX ditangkap ada apa dengan batu bara, mungkin tidak ada masalah,” ungkap Rachmat.

Sementara Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, menampilkan kekayaan mineral dan batu bara nasional mencapai US$4 triliun yang duapertiganya berasal dari batu bara. “Jadi peranan batu bara itu sebenarnya besar kepada penghasilan yang kita dapat,” terangnya.

Namun Irwandy mengakui bahwa industri batu bara saat ini tengah dibayangi transisi energi, sehingga banyak yang berpikiran peran batu
bara akan mengalami penurunan. Padahal, hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa berasal dari energi batu bara. Sehingga ketika pasokan batu bara terganggu maka akan mengganggu hampir seluruh pasokan listrik di Jawa. Meski sekarang EBT terus didorong sehingga pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi mulai dikurangi.

Tetapi seberapa besar pengurangannya sampai sekarang belum juga diketahui. Bahkan kalau dilihat dari skenario biasa sampai 2060 produksi batu bara masih mencapai 720 juta ton. Semuanya tergantung pada perkembangan dari EBT. Irwandy mengatakan saat ini pemerintah melalui DEN sudah menurunkan target 2025 sebesar tadinya 23% sekarang menjadi 17% karena realisasinya baru sekitar 13%.

“Jadi ini adalah business as usual. Kemudian ada skenario berikutnya NZE, ternyata produksi batu bara 2060 masih 327 juta ton. Jadi seberapa lama batu bara ini dalam buku saya mengatakan kurang lebih 40 tahun masih hidup,” lanjut Irwandy.

Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Pertambangan Mineral dan Batu bara ini pun mengatakan tantangan batu bara adalah bagaimana mengurangi emisi CO2. Intinya menjaga lingkungan dengan strategi optimasi penggunaan batu bara dan mencegah emisi CO2 maka munculah konsep carbon pricing trading, reklamasi dan sebagainya.

“Batu bara harus menerapkan Clean Coal Tchology. Sudah ada 13 PLTU menerapkan teknologi USC dan IGCC. Ini hal positif karena teknologinya mahal sekali,” terang Irwandy.

Di tempat yang sama Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan ada peran penting batu bara dalam sejarah peradaban dunia seperti revolusi Inggris dan Amerika Serikat. Ia juga menyebutkan bahwa saat ini ada temuan menarik dimana Eropa dan US kalah dagang dengan Cina dan India dalam 15 tahun terakhir. Kalau dilihat lebih dalam lagi bauran energi, batu bara kedua negara ini India masih menggunakan baru bata sebesar 70% dan China masih menguasai 60-65%.

“Artinya, jangan-jangan transisi energi ini tidak pure soal lingkungan, tapi ada aspek geopolitik. Eropa tidak memiliki cadangan batu bara,” ungkap Komaidi.

Komaidi menjelaskan industri batu bara memiliki keterkaitan dengan 76 sektor pendukung dari sekitar 186 sektor pendukung di Indonesia. Hal ini ada keterkaitan kebelakang dan ke depan dalam konteks industri batu bara. “Kalau ada investasi 1 akan menghasilkan 5,45 satuan. Artinya, kalau ada Rp1 triliun, maka nilai tambah ekonomi itu sebesar Rp5,35 triliun itu kisarannya di situ,” katanya.

Komaidi juga mengungkapkan soal batubara sebagai sumber energi yang murah dibanding sumber energi lainnya. Jika melihat biaya pembangkitan per KWh dari angka-angka yang ada batu bara termurah, bahkan di dalam kelompok fosil. “Sebagian besar produksi listrik kita saat ini di batu bara sekitar 66,98% dari batu bara. Coba diganti PLTU dengan PLTS, akan naik tarifnya 30-an persen. Bahkan dalam realisasinya, kalau backup system dihitung, bisa lebih tinggi lagi biayanya,” urai Komaidi.

Ia pun mengatakan perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua fosil, tapi yang mengubah tatanan ekonomi dunia teknologi, yang akan ubah tantangan transisi energi dunia juga teknologi. Jika suatu hari ada teknoologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai. “Kita ikut transisi energi, tapi pilihan cara, kita enggak harus didikte negara-negara Eropa. Kita negara kepulauan, banyak argumentasi kenapa kita tidak memaksakan diri tapi tetap harus ikut arus global,” tutup Komaidi.