Beranda Asosiasi KADIN Ingin Hilirisasi Timah Dilakukan Secara Bertahap

KADIN Ingin Hilirisasi Timah Dilakukan Secara Bertahap

Korupsi Timah
Ilustrasi. Tumpukan balok Timah di Unit Metalurgi PT Timah Tbk, Muntok, Bangka Barat. Doc: Mind ID

Jakarta, TAMBANG – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menginginkan hilirisasi timah dilakukan secara bertahap. Hal ini disampaikan pasca pihaknya menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama sejumlah pemangku kepentingan dan stakeholder bersangkutan.

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek dan Inovasi yang juga menjabat sebagai (PJS) Wakil Ketua Umum Bidang ESDM KADIN Indonesia, Carmelita Hartoto menyampaikan bahwa Industri hulu timah Indonesia memang telah memberikan manfaat positif, baik terhadap pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, jumlah investasi, maupun program pengembangan pemberdayaan masyarakat.

“Persoalannya, penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara industri hulu dengan hilir. Industri hulu timah berkembang pesat, sebaliknya hilir belum,” ujar Carmelita, Jumat (22/9).

Karena itu, KADIN Indonesia sebagai payung dari dunia usaha dan mitra strategis pemerintah, berharap agar infrastruktur hilirisasi terus digenjot sehingga hilirisasi sumber daya alam (SDA) secara bertahap bisa dilakukan.

“Pemerintah juga diharapkan bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri,” ungkap dia.

Menurut Carmelita, persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik. Hilirisasi ini juga membutuhkan roadmap sebagai guidelines atau petunjuk bagi para pelaku usaha.

“KADIN Indonesia mendukung penuh hilirisasi ini, namun hilirisasi timah ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup,” jelasnya.

Lebih lanjut Carmelita menyebut bahwa pelaku usaha memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin hilirisasi yang optimal. Tak hanya itu, dalam melakukan hilirisasi juga diperlukan roadmap yang jelas.

Indonesia sendiri, kata dia, menjadi eksportir logam timah terbesar di dunia. Pada tahun 2020 ekspor logam timah Indonesia sebesar 65 ribu ton dan terjadi peningkatan di tahun 2021 yaitu menjadi 74 ribu ton. Sementara penyerapan dalam negeri sekitar 5% dari produksi logam timah nasional.

Tak hanya itu, Carmelita juga menambahkan, dalam 10 tahun terakhir, memang terjadi peningkatan transaksi perdagangan logam timah domestik dari 900 ton menjadi 3500 ton. “Namun, jumlahnya masih tergolong kecil dan belum dapat menyerap seluruh produksi logam timah nasional,” bebernya.

Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara KADIN Indonesia, Arya Rizqi Darsono juga mendukung program pemerintah ini. Namun menurutnya perlu  dirumuskan dulu suatu kebijakan yang ke depannya dapat membantu pelaku usaha dalam melakukan hilirisasi timah ini secara bertahap agar berdampak bagi peningkatan pendapatan negara.

“Timah dapat menjadi senjata di Indonesia, karena volume ingot timah yang melimpah ruah di Indonesia. Maka dari itu, hilirisasi timah harus dilakukan secara optimal. Jika hilirisasi ini terpecah, akan merugikan Indonesia,” ucap Arya.

Sejalan dengan Arya, Wakil Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara, Jabin Sufianto yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AETI, mengatakan bursa timah harus dioptimalkan terlebih dahulu, sebelum memulai hilirisasi ini. Terlebih, volume ingot timah di Indonesia besar, dimana dapat mendikte dan menguasai dunia.

“Dengan banyaknya volume ingot di Indonesia, hal ini dapat dijadikan bargaining power untuk Indonesia. Maka dari itu, dalam mengolah timah, jangan diurai ke bawah menjadi produk retail, karena pasarnya sedikit,” ucap Jabin.

Jabin juga menambahkan, dalam melakukan hilirisasi, pemerintah harus memperhatikan pajak ekspor di Indonesia. Saat ini, pajak ekspor di Indonesia lebih besar dibandingkan pajak impor, yakni 11%. Sementara pajak impor hanya 0%.

“Bahkan terdapat impor yang bebas biaya pajak. Hal inilah yang memberatkan pelaku usaha dalam melakukan hilirisasi,” pungkas dia.

Sebagai informasi, FGD dilakukan pada Kamis, 21 September 2022. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai respon atas pernyataan Presiden Jokowi yang akan melarang ekpsor timah dan bauksit pada akhir tahun ini.

Kesimpulan diskusi akan digunakan di dalam Pokja Hilirisasi Minerba KADIN Indonesia sehingga menghasilkan white paper. Kemudian diserahkan kepada pemerintah sebagai masukan dari dunia usaha.