Beranda ENERGI Kelistrikan Karena Selisih Kurs, PLN Mengaku Rugi Bersih Rp10 Triliun

Karena Selisih Kurs, PLN Mengaku Rugi Bersih Rp10 Triliun

Jakarta – TAMBANG. Meskipun berhasil menekan beban usaha dan mencatatkan pertumbuhan pendapatan, namun PLN ternyata justru melaporkan kerugian bersih sebesar Rp10,5 triliun. Hal tersebut dirilis lewat laporan Laporan Keuangan PT PLN (Persero) Semester I 2015 yang belum diaudit, Rabu (29/7).

 

Secara teknis, hingga Juni 2015, PLN memang masih mampu membukukan laba operasi sebesar Rp24,7 triliun. Jumlah itu memang tak sebesar laba operasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp28,8 triliun.

 

Namun, dengan alasan utama adanya kerugian selisih nilai tukar mata uang, perhitungan rugi bersih dilaporkan sebesar Rp10,5 triliun. Padahal, tahun sebelumnya PLN mampu mencetak laba bersih sebesar Rp14,5 triliun.

 

“Penurunan laba bersih ini terutama karena adanya rugi selisih kurs yaitu dari laba kurs Rp4,4 trilliun pada Semester I 2014, menjadi rugi selisih kurs Rp16,9 trilliun pada Semester I 2015,” jelas Adi Supriono, Sekretaris Perusahaan PT PLN (Persero), Rabu (29/7).

 

Ia lebih lanjut memaparkan bahwa hal ini merupakan konsekuensi diberlakukannya Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 tahun 2012. Dengan aturan tersebut, maka sebagian besar transaksi antara PLN dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dicatat seperti transaksi sewa guna usaha.

 

“Kondisi ini berdampak pada hutang valuta asing PLN yang meningkat signifikan, dan laba rugi PLN sangat berfluktuasi dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah,” ujarnya lagi.

 

Untuk mengurangi beban akibat mata uang rupiah yang terdepresiasi terhadap mata uang asing, terutama dollar Amerika Serikat, PLN pada bulan April 2015 sebenarnya juga telah melakukan transaksi lindung nilai atas sebagian kewajiban dan hutang usaha valas.

 

Sementara itu, total aset Perseroan pada 30 Juni 2015 terdata senilai Rp622,5 triliun. Ada kenaikan sebesar 1,87% dibanding laporan per 31 Desember 2014 lalu senilai Rp611,1 triliun. Kenaikan total aset ini terutama disebabkan jumlah aset tidak lancar, karena adanya investasi pada proyek-proyek yang masih terus berjalan, terutama proyek pembangkit dan transmisi.