Beranda ENERGI Migas Kasus PHE Raja Tempirai: Hakim PN Jakpus Langgar Profesionalisme dan Kode Etik

Kasus PHE Raja Tempirai: Hakim PN Jakpus Langgar Profesionalisme dan Kode Etik

Jakarta-TAMBANG. Majelis hakim yang memutus perkara Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) vs Golden Spike Energi Indonesia (GSEI) di PN Jakarta Pusat dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) oleh pihak PHE.

 

Alasannya, diduga kuat telah terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. PHE RT memasukkan laporan kepada Komisi Yudisial pada Senin, 23 Maret 2015, yang ditembuskan kepada Ketua MA dan Kepala Badan Pengawas MA.

 

Menurut M. Yahya Harahap, mantan Hakim Agung yang bertindak selaku kuasa hukum pelapor, dalam perkara sengketa JOB Raja Tempirai, terjadi tindakan pengadilan yang bertentangan dengan perndang-undangan.

 

“Hakim telah melakukan pelanggaran profesionalesme, kejujuran dan kode etik,” ujar  Yahya kepada wartawan di kantor Remy And Partners, kawasan Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (25/3).

 

Indikasi faktual terjadinya pelanggaran itu, kata Yahya, di antaranya adalah tindakan tidak profesional dan secara gegabah melanggar ketentuan UU 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).

 

Dalam UU tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian yang menyepakati klausula arbitrase. “Pengadilan Negeri juga wajib menolak memeriksa perkara yang timbul dari perjanjian yang menyepakati klausula arbitrase,” ungkap Yahya.

 

Apalagi, lanjut Yahya, UU Arbitrase (pasal 10) juga menegaskan bahwa pengalihan perjanjian tidak membatalkan klausula arbitrase. Pelanggaran lainnya terkait dengan pasal 34 UU Arbitrase yang menegaskan bahwa siapapun dapat menyepakati penyelesaian sengketa menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan.

 

Selain yang disampaikan di atas, Yahya menyebut hakim secara terang-terangan telah juga memutarbalikkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan dan mengambil sepotong-sepotong keterangan ahli untuk dijadikan pertimbangan hukum demi memenangkan pihak tergugat.

 

“Menurut kami, tindakan dan perilaku tersebut diduga melanggar nilai etik kejujuran yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 9 Kode Etik Hakim,” sebut Yahya.

 

Lebih jauh, tambah Yahya, ketua majelis hakim dalam kasus tersebut juga dituding melanggar ketentuan pasal 11 ayat 1 dan pasal 13 ayat 1 UU nomor 48 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU tersebut memerintahkan persidangan dengan majelis yang terbuka untuk umum. Tetapi kenyataannya majelis hakim melakukan persidangan di ruang kerja Ketua Hakim secara tertutup.

 

Parahnya lagi, kata Yahya, hakim memutuskan perkara tersebut hanya berdasarkan alat bukti selembar kertas foto copy tanpa verifikasi dan mengabulkan gugatan GSEI senilai US $ 125 juta dari total gugatan US $ 299 juta. Sengketa antara GSEI melawan PHE RT adalah kasus perkara luar biasa yang memiliki dampak serius. Kasus tersebut tidak hanya akan menimbulkan preseden buruk, namun bisa juga mengganggu iklim investasi.

 

Sementara itu Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto, terganggunya iklim investasi akibat ketidakpastian hukum, karena sengketa yang seharusnya diselesaikan melalui jalur arbitrase justru dilakukan melalui peradilan umum. Padahal banyak badan usaha, termasuk investor asing di Indonesia yang menjadikan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa.