Beranda Batubara Kita Butuh Harga Batu Bara yang Wajar

Kita Butuh Harga Batu Bara yang Wajar

JAKARTA –TAMBANG. SUDAH hampir tiga tahun ini harga batu bara tak kunjung membara. Saya teringat pada pertemuan buka puasa bersama, yang diadakan oleh tambang batu bara Adaro. Presiden Direktur Adaro, Garibaldi Thohir hadir sebagai pengundang.

 

Pertemuan ini diadakan pada 2012, tatkala harga batu bara sudah turun, tapi belum separah sekarang. ‘’Kita tidak tahu sampai kapan harga akan rendah. Yang kami lakukan sekarang adalah mempertahankan bagaimana kami tetap hidup saja. Kami tidak berpikir ekspansi lebih dahulu,’’ katanya.

 

Adaro, sebagaimana kita lihat, alhamdulillah hingga kini benderanya tetap berkibar. Tetapi kibarannya tidak sekencang ketika harga batu bara masih terkerek tinggi. Dalam laporan di kuartal ke-3 tahun ini, pendapatan usaha Adaro naik 3% menjadi US$ 2,5 miliar. Kenaikan itu terjadi karena volume penjualan yang naik 8%. Harga batu bara sendiri turun 5%. Secara keseluruhan, Adaro, salah satu tambang batu bara papan atas di Indonesia, tetap berlaba.

 

Namun jauh lebih banyak tambang yang nasibnya suram. Sebagai tambang kecil, mereka tidak seberuntung Adaro. Sebagai contoh, tambang yang luasannya di kisaran 1.000 hektare dengan deposit minim, biasanya tidak memiliki fasilitas lengkap. Ada kalanya semuanya serba sewa: mulai dari penghancur, penimbunan, hingga jetty. Ini membuat biaya produksi, dalam jangka panjang, lebih mahal ketimbang memiliki sendiri.

 

Tambang kecil juga tidak memiliki kemudahan mencari dana selonggar yang dipunyai tambang besar seperti Adaro, yang bisa masuk di pasar modal atau fasilitas pasar uang lainnya. Tambang kecil banyak tergantung pada pinjaman jangka pendek dari perorangan atau sebuah lembaga tertentu, yang bunganya mencekik. Ada kalanya si pemberi pinjaman ini menawarkan duit dengan pola bagi hasil keuntungan: 60% untuk pemilik modal, 40% untuk pemilik tambang.

 

Si pemilik tambang yang tak punya alternatif lain, bergegas mengiyakan tawaran itu. Padahal, di balik kerjasama ini seringkali masih ada sejumlah rentetan lain yang cukup panjang dan memberatkan. Dengan dalih untuk mengurangi risiko, si pemilik dana mengontrol proses produksi dari hulu sampai hilir, sampai menentukan kontraktor, tongkang, hingga alat berat yang disewa.

 

Dari tiap titik produksi, si pemilik dana bisa mendapatkan keuntungan. Akhirnya untung bersih yang didapat makin kecil.

 

Bila harga batu bara yang dijual berkalori tinggi, masih ada laba lumayan yang bisa disisakan. Harga batu bara dengan kalori GAR 5.000 ke atas masih di atas Rp 500.000. Sementara yang kalori GAR 4.200, saat ini hanya di kisaran Rp 400.000.

 

Di harga batu bara acuan (HBA) yang dikeluarkan APBI pada Februari 2012, untuk GAR 4.200 US$ 58,58, dan US$ 80,12 untuk GAR 5.000, dengan penyerahan FOB kapal. Di HBA November 2014, harganya berubah jauh. Untuk GAR 4.200, harganya menjadi US$ 36,99 dan untuk GAR 5.000 menjadi US$ 50,12. Semuanya hampir anjlok 40%.

 

Padahal biaya untuk menghasilkan batu bara, di kalori berapa pun, sama. Biaya penggalian batu bara, misalnya, dihitung dari berapa meter kubik tanah yang dipindahkan. Biaya pengangkutan juga dihitung dari berapa ton muatan yang diangkut, dikalikan jarak. Demikian pula biaya untuk tongkang. Anda bisa membayangkan, betapa pemilik tambang kalori sekitar GAR 3.000, yang harga batu baranya dihargai sekitar Rp 230.000 per metrik ton, sangat direpotkan oleh situasi sekarang.

 

Pukulan bagi perusahaan tambang datang dari sisi lain: kurs. Bila mereka berkontrak dengan swasta, atau untuk keperluan ekspor, mereka bisa menjual dalam valuta asing, biasanya dolar yang nilainya mengikuti pasar. Namun bila mereka memasok ke PLN, mereka harus mau berkontrak dalam rupiah. Sebagai BUMN, PLN akan mengacu pada kurs rupiah terhadap dolar yang ditetapkan di APBN.

 

Padahal, asumsi kurs yang ditetapkan pemerintah selalu lebih rendah dari harga pasar. Sebagai contoh, untuk APBN 2014, kurs dolar rata-rata ditetapkan Rp 11.600. Adapun untuk 2015 adalah Rp 11.900. Di pasar saat ini satu dolar dihargai sekitar Rp 12.500. Perusahaan tambang pun akhirnya pasrah: daripada tidak ada yang membeli, daripada tidak bisa diekspor, menerima harga yang ditetapkan PLN.

 

Kami berharap, harga batu bara akan naik lagi, demi kelangsungan industri itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Harga yang terlalu murah akan membuat perusahaan tambang enggan menyisihkan dananya untuk masyarakat, reklamasi lingkungan, dan investasi yang sifatnya berkelanjutan. Mereka hanya berpikir untuk bagaimana mempertahankan kehidupannya minggu ini, dan minggu depan.

 

Padahal, sebagai sebuah industri, tambang tidak berdiri sendiri. Ada industri lain yang menyertainya, seperti perbankan, penyewaan alat berat, pembiayaan, hingga jasa logistik, survei, dan berbagai industri penunjang lain. Bila harga komoditi itu hancur, dengan sendirinya industri yang menyertai akan ikut rontok.

 

Sumber foto: bentengekspress.blogspot.com