*Andi Erwin Syarif
Kita berduka sedalam-dalamnya atas Longsor yang terjadi di tambang batu alam gunung Kuda Cirebon, pada Jumat, (30/5) lalu. Sampai saat ini upaya evakuasi terus dilakukan karena diperkirakan masih ada korban lain yang tertimbun. Mereka yang menjadi korban terdiri dari para penambang dan awak pengangkut material.
Kejadian ini kembali menyentakkan kesadaran kita akan realita pengelolaan tambang galian C yang seolah dibiarkan-terabaikan, tanpa regulasi yang kuat dan pengawasan yang memadai. Pada sisi yang lain, pemerintah gencar mendorong hilirisasi tambang untuk menciptakan nilai tambah dan mengambil peran lebih besar dalam rantai pasok global. Namun justru tambang-tambang rakyat seperti galian C kerap luput dari perhatian.
Padahal, di sinilah denyut ekonomi lokal berdetak, menyediakan bahan baku pembangunan, membuka lapangan kerja, dan menjadi sumber penghidupan warga di banyak pelosok negeri. Selama bertahun-tahun, Gunung Kuda menjadi ladang ekonomi yang menjanjikan, dimana
masyarakat menggantungkan harapan hidup di sana. Sementara para pengusaha meraup keuntungan besar. Di sisi lain alam terus dikuras tanpa kendali, bukit-bukit dikupas, batu diangkut tanpa henti, dan area vegetasi digantikan oleh tebing-tebing curam yang rawan bencana.
Hingga akhirnya, alam berbicara dengan caranya sendiri.
Gunung Kuda bukan satu-satunya. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai wilayah tambang galian C di Indonesia mengalami kejadian ini. Sebut saja longsor tambang pasir di Lumajang tahun 2024, tambang galian pasir di Kecamatan Leles, Garut yang mengalami longsor 2022, Longsor di Tambang Pasir di Kutorejo, Mojokerto 2020.
Jika di telisik lebih jauh lagi, di berbagai tempat tambang galian C telah menjadi ajang tarik-menarik antara keuntungan elite dan hak hidup masyarakat. Banyak tambang beroperasi tanpa izin lengkap, bahkan tetap berjalan meski masa izin telah habis. Lalu kemudian, pengawasan lemah, sanksi tak ditegakkan dan pelanggaran dianggap hal biasa.
Merujuk konstitusi, hal ini dapat di kategorikan cermin kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab dasarnya melindungi keselamatan warga negara dalam mencari penghidupan yang layak. Kejadian longsor ini bukan semata bencana alam, tapi merupakan konsekuensi dari pembiaran sistemik terhadap praktik pertambangan yang buruk (Bad Mining Practices) pada tambang galian C. Jangan lagi berharap penerapan Good Mining Practice (GMP).
Dalam kasus Longsor Gunung Kuda, pernyataan Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Bambang Tirto Yuliono, yang mengakui bahwa longsor di Gunung Kuda disebabkan oleh kesalahan metode penambangan yang seharusnya dilakukan dari atas dan membentuk terasering. Pertanyaan
kenapa tidak ada moratorium jika teridentifikasi secara geo-teknik sudah mengkhawatirkan, ataupun melakukan tindakan lainnya yang efektif, dalam kontek edukasi ataupun sosialisasi, penegakan aturan (law enforcement), hingga mencari alternatif keberlangsungan mata pengcaharian (alternative sustainable livelihood) para penambang misalnya.
Sudah saatnya pemerintah pusat turun tangan secara serius, kasus ini sekelumit mencerminkan rapuhnya tata kelola tambang galian C, yang kemudian tak bisa lagi sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, yang dalam banyak kasus justru bagian dari masalah. Diperlukan audit nasional menyeluruh mulai dari status perizinan, kepatuhan terhadap standar keselamatan, hingga kontribusi terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Selain itu, dukungan oknum yang terlibat dalam praktik tambang ilegal harus di berantas, dan masyarakat perlu dilibatkan aktif dalam pengawasan Sekali lagi, Longsor ini bukan bencana alam, melainkan cermin kegagalan tata kelola pertambangan, khususnya pada tambang galian C. Pemerintah tidak boleh bersikap pasif; harus bergerak proaktif untuk mencegah tragedi serupa terulang Kembali.
*Praktisi Keselamatan Pertambangan & Industri