Beranda ENERGI Migas Marwan Batubara: Pemerintah Harus Terangkan Komponen Pembentuk Harga BBM

Marwan Batubara: Pemerintah Harus Terangkan Komponen Pembentuk Harga BBM

Jakarta-TAMBANG. Kebijakan terkait harga Bahan Bakar Minyak sampai sekarang masih menjadi persoalan. Terutama ketika ada kebijakan kenaikan harga BBM yang menuai protes. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Rescources Studies (IRES) Marwan Batubara protes masyarakat terjadi karena belum mengetahui komponen pembentuk harga dan formula dalam penentuan harga BBM. Oleh karenanya Pemerintah menurut Marwan harus menyosialisasikan hal ini kepada masyarakat.

 

“Menjadi tugas Pemerintah untuk menjelaskan pada masyarakat komponen biaya pembentuk harga dan formula yang digunakan. Sehingga berbagai persepsi yang tidak tepat dapat dikurangi,”kata Marwan dalam siaran persnya.

 

Tidak hanya itu, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah juga bisa mengambil sikap mengurangi PPN dan PBBKB yang saat ini nilainya 15% jika menganggap harga tersebut membebani masyarakat. “Pegurangan atau penghilangan pajak ini dapat pula berfungsi sebagai substitusi terhadap subsidi BBM yang saat ini sudah terlanjur dicabut,”katanya.

 

Atau menurut Marwan jika ingin menerapkan pola subsidi yang lebih berkeadilan, Pemerintah dapat pula menerapkan PPN dan PBBKB secara selektif dengan nilai yang lebih tinggi kepada golongan yang mampu.  Dengan demikian upaya untuk menerapkan pola subsidi yang tepat sasaran mungkin dapat dicapai.

Sebagaimana diketahui variabel utama yang menjadi penentu harga BBM adalah harga beli produk yang mengikuti perubahan MOPS dan kurs Rp terhadap US$. Oleh karenanya meski harga minyak dunia/MOPS turun, namun karena saat yang sama terjadi peningkatan kurs US$ yang signifikan, maka harga jual BBM tidak otomatis turun, atau bahkan harus naik.

 

“Fluktuasi nilai kedua variable ini sering terabaikan, sehingga timbul persepsi dan penilaian yang tidak akurat. Karena itu pemerintah perlu proaktif menjelaskan status harga BBM jika sewaktu-waktu terjadi perubahan harga minyak dan/atau kurs Rp yang signifikan,”jelas Marwan yang selama ini sangat konsen pada pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

 

Oleh karena terakhir erat dengan kinerja ekonomi, maka Pemerintah sudah seharusnya bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional. Dengan demikian nilai Rupiah bisa segera menguat. Ini juga akan membuat masyarakat dapat menikmati turunnya harga minya dunia saat ini.

 

“Sayangnya Pemerintah tidak konsisten menjalankan peraturan yang dibuat sendiri. Harga keekonomian BBM yang seharusnya disesuaikan  berdasarkan perubahan harga minyak dunia dan kurs setiap bulan, ternyata tidak dikoreksi sesuai formula yang ada,”katanya.

 

Menurut Marwan kebijakan terkait harga BBM saat ini lebih mempertimbangkan aspek politik dan kekhawatiran menghadapi protes publik. Ini terlihat ketika Pertamina masih harus menjual BBM di harga yang lebih rendah dari harga keekonomian. Karena anggaran subsisdi BBM tidak lagi tersedia di APBN, maka selisih harga tersebut harus ditanggung oleh Pertamina berupa kerugian dari penjualan BBM premium dan solar. Jumlahnya  triliunan setiap bulan.  “Faktanya sejak Januari 2015 hingga Juli 2015 total kerugian Pertamina telah mencapai Rp 12,63 triliun,”ujar mantan Anggota DPD ini.

 

Ke depan menurut Marwan Pemerintah perlu menetapkan harga BBM secara periodik misalnya setiap 3 bulan atau 6 bulan guna mencegah berbagai dampak buruk akbibat perubahan harga yang terlalu cepat. Kemudian harus konsisten menjalankan peraturan yang berlaku, terutama dalam penyesuaian harga sesuai formula berlaku atau memberikan subsidi jika diperlukan, tanpa harus mengorbankan BUMN.

 

Pemerintah juga harus mengganti kerugian yang dialami Pertamina melalui berbagai cara, termasuk dengan mempertahankan harga jual BBM saat harga minyak dunia turun, membayar melalui APBN-P 2015 atau APBN 2016 atau lewat mekanisme lainnya.

 

Dan yang tidak kalah penting segera memberlakukan sistem dan dana stabilisasi harga BBM sebagai pengganti subsidi BBM karena masih banyaknya masyarakat yang tidak mampu dan belum berfungsinya sistem subsidi langsung tepat sasaran. Dan menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di Pertamina melalui perubahan status menjadi non-listed public company.

 

Pemerintah menurut Marwan sudah harus menetapkan kebijakan harga BBM secara komprehensif yang mempertimbangkan berbagai faktor dan variables penentu, termasuk aspek-aspek keadilan, kemampuan keuangan negara, pola subsisdi, kebutuhan diversifikasi energi, ketahanan dan kemandirian energi, kebutuhan infrastruktur.

 

Sebagaimana diketahui sesuai ketentuan dalam Perpres No.191 Tahun 2015 dan Permen ESDM No.39/2014. Jika diurut dari pembelian produk minyak sesuai harga index pasar (HIP atau Mean of Platts Singapore, MOPS), lalu formula dalam Permen ESDM No.39 diterapkan maka harga jual BBM dapat dihitung berdasarkan berbagai komponen biaya, Harga pokok produksi=harga pembelian sesuai HIP/MOPS + biaya transportasi; Kemudian harga pokok penjualan adalah harga pokok produksi + biaya penyimpanan + biaya distribusi. Lalu harga dasar adalah harga pokok penjualan + margin Pertamina + margin SPBU dan harga jual BBM adalah harga dasar + PPN + PBBKB + Iuran BPH.

 

Sedangkan nilai nilai komponen biaya yang menentukan harga jual BBM antara lain adalah biaya transportasi produk  sebesar Rp 286/liter, biaya distribusi, biaya penyimpanan dan mobil tangki Rp 220/liter. Tidak hanya itu, ada juga pajak (PPN) yang besarnya 10%, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotot atau  PBBKB sebesar  5%, dan juga  iuran untuk BPH Migas Rp22/liter serta kompensasi biaya distribusi sebesar 2% untuk BBM Non-Jamali.