Beranda Editorial Mencegah Terulangnya Kasus Fuad Amin Imron

Mencegah Terulangnya Kasus Fuad Amin Imron

Fuad Amin Imron. Foto: Facebook

TOKOH penting masyarakat Bangkalan Madura, Fuad Amin Imron, tengah menuai sorotan. Setiap hari namanya diberitakan di televisi, koran, internet, dan radio. Ia menjadi tersangka atas berbagai perilaku koruptif: menerima duit dari pengusaha gas yang mendapat jatah dari Pertamina, dan mungkin juga tindak pidana pencucian uang.

 

Gas itu digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan. Fuad Amin punya peran penting. Ketika menjabat sebagai bupati Bangkalan, Amin ikut meneken kontrak kerja sama eksplorasi minyak antara perusahaan daerah Bangkalan, PD Sumber Daya, dengan perusahaan swasta PT Media Karya Sentosa.

 

Tanpa tanda tangan dari Fuad Amin, Media Karya bisa mendapat pekerjaan dari PT Pertamina West Madura Offshore, anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energy, untuk membangun jaringan pipa. Media Karya juga mengelola pasokan gas dari blok eksplorasi West Madura Offshore itu.

 

Fuad Amin Imron adalah cucu seorang ulama besar Madura, KH Muhammad Khalil Bangkalan, ulama yang menjadi guru beberapa pendiri Nahdlatul Ulama. Ia dua kali menjabat sebagai bupati, melalui proses pemilihan langsung. Dalam pemilihan pertama sebagai bupati, pada 2003, ia mendapat 42 suara, lawannya hanya mendapat tiga. Pada 2008, ia maju lagi, dan menang mutlak.

 

Karena tak bisa maju lagi sebagai bupati, pada 2013 Fuad Amin ikut pemilihan umum, kali ini atas nama Partai Gerindra. Fuad lolos, bahkan kemudian menjadi Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan. Sebagai gantinya, Fuad mengajukan anaknya, Makmun Ibnu Fuad yang akrab dipanggil Ra Momon, sebagai calon bupati.

 

Ra Momon, demikian ia akrab dipanggil, memecahkan dua rekor: ia bupati periode pertama yang meraih 93% suara, plus bupati termuda. Ra Momon yang kini masih menjadi bupati Bangkalan, dilantik pada usia 26 tahun.

 

Di era otonomi daerah, bupati memang memegang peran penting. Penerbitan izin usaha pertambangan, pengurusan status clear and clean, pengurusan pendirian smelter, hingga pengubahan status sebuah perusahaan tambang menjadi PMA, semuanya membutuhkan tanda tangan Bupati.

 

Di era saat ini, yang penentuan kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung, seorang bupati atau gubernur harus mempunyai modal logistik yang cukup untuk kampanye. Baik untuk iklan, sekadar biaya transportasi, atau memberi sangu bagi tim sukses dan calon pemilihnya. Perizinan menjadi ladang empuk untuk mengisi pundi-pundi logistik.

 

Berbagai kasus yang sekarang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi banyak yang berkaitan dengan perizinan. Pengusaha papan atas, sekaligus tokoh yang dekat dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Siti Hartati Murdaya, terserat kasus hingga masuk penjara karena mengurus izin untuk kebun sawit.

 

Dalam kasus alih fungsi hutan di Sentul, Jawa Barat, Bupati Bogor Rahmat Yasin ditahan. Pengusaha senior yang dituding menjadi penyuap, Cahyadi Kumala, juga masuk penjara. Bupati Bogor tanda tangannya diperlukan untuk rekomendasi alih fungsi hutan itu menjadi properti.

 

Kita masih melihat kasus yang lain, yang menimpa mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, semua juga bermasalah karena persoalan perizinan.

 

Sekarang, masalah perizinan ini tengah menimpa Fuad Amin Imron, seorang pemuka yang berdarah ‘’biru’’ dari Bangkalan. Dugaan kuat, kasus ini akan berkembang ke berbagai arah. Berbagai pihak terlibat: Pertamina Hulu Energi, Meda Karya Sentosa, BUMD Sumber Daya, mungkin juga bupati sekarang, yang juga anaknya Fuad Amin, ikut terseret.

 

Bagi kita yang bergerak di dunia pertambangan, kita sering mendengar adanya seorang bupati yang berperilaku miring. Sudah jadi pergunjingan umum di dunia pertambangan, betapa susahnya untuk mengurus perizinan, karena tak mudah untuk mendapatkan tandatangan bupati.

 

Undang-undang di Indonesia mengamanatkan, otonomi daerah berlaku dengan basis kabupaten. Beberapa bupati atau walikota yang berniat baik, tidak berperilaku korup, berhasil mengangkat kejayaan daerahnya, dengan memanfaatkan besarnya kekuasaan yang dia miliki.

 

Kita melihat beberapa contoh: Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Bupati Bantaeng, mantan Walikota Yogya Herry Zudianto, atau presiden sekarang, Joko Widodo, dikenal sebagai orang-orang yang tulus dalam bekerja. Mereka berprinsip ‘’kalau bisa dimudahkan, mengapa mesti dipersulit.’’ Perizinan dipangkas, yang tepat waktu diberi ganjaran, yang terlambat dikasih hukuman.

 

Bila bupati atau walikota berprinsip seperti ini, dunia usaha di Indonesia, termasuk dunia pertambangan, akan makin terasa manfaatnya bagi masyarakat. Dan, kasus tangkap tangan oleh KPK, seperti menimpa Fuad Amin Imron, akan berhenti.