Beranda Editorial Menengok Prospek Pasar Batu Bara 2016

Menengok Prospek Pasar Batu Bara 2016

Jakarta-TAMBANG. Seperti biasa setiap awal tahun, sebagian orang mulai memprediksi tentang apa yang akan terjadi di sepanjang tahun baru. Tidak ketinggalan pelaku usaha tambang batu bara. Diharapkan tahun 2016 ini akan lebih baik dari dua tahun terakhir secara khusus dari tahun 2015. Namun sepertinya harapan itu belum akan menjadi kenyataan karena sektor batu bara masih akan menghadapi beberapa tantangan di tahun 2016.

 

Sejauh ini belum terlihat faktor yang bisa membantu pasar batu bara untuk pulih. Di tengah permintaan yang masih rendah, pasar diperkirakan  tetap mengalami kelebihan pasokan. Di tempat lain kondisi ekonomi yang belum ada tanda-tanda bakal membaik serta anjloknya harga minyak dunia harga si emas hitam ini berada di zona merah seperti tahun 2015.

 

Belum lagi kesadaran global untuk mengurangi emisi karbon akan berpengaruh pada permintaan batu bara di masa mendatang. Pertemuan COP Paris pada akhir tahun 2015 mendorong negara-negara peserta untuk mengurangi suhu global di bawah 2C. Salah satunya dengan menekan konsumsi energi berbasis fosil. Salah satunya batu bara selain minyak dan gas.

 

Energi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon selain kendaraan bermotor. Oleh karenanya menekan pemanfaatan energi berbasis fosil menjadi pilihan. Di tempat lain sumber energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan digalakan.

 

Semangat ini sudah terlihat di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika khusus Amerika Serikat. Saat ini di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat pembangkit listrik berbasis batu bara banyak yang ditutup.

 

Bank of America Corp dalam Laporannya pada 18 Desember silam melaporkan bahwa saat ini, dunia masih memiliki cadangan batubara sebesar 890 miliar ton. Jumlah tersebut bisa digunakan hingga 65 tahun ke depan. Dan jika para petinggi negara di dunia sepakat melaksanakan hasil pertemuan di Paris maka  sekitar 50% cadangan batubara dunia tersebut tidak akan pernah digali. Wajar saja karena mengurangi pemanfaatan batubara sebagai sumber energi dinilai sebagai cara termudah menurunkan emisi karbon yang berefek pada perubahan iklim global.

 

Dalam nada yang hampir sama International Energy Agency (IEA) melaporkan, permintaan batubara sudah berhenti tumbuh sejak tahun 2014. Dan hal ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak 1990.

 

Bagaimana Dengan Cina dan India

 

Dua negara inilah yang selama ini menjadi pasar terbesar dari pasar batu bara dunia. Namun ada perkembangan terkini yang juga terjadi di dua negara tersebut. Cina dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai mengurangi konsumsi batu bara khusus untuk pembangkit listrik.

 

Padahal selama ini kurang lebih 64% kebutuhan energi dipasok oleh batu bara dan di tahun 2016 ini Cina bakal mengurangi 2% pasokan energi dari batu bara. Bahkan kecendrungan ini sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak 2014. Sebagai substitusi, Pemerintah Cina terus menambah porsi pembangkit listrik dari tenaga angin dan matahari.

 

Di Cina yang selama ini terpapar oleh polusi yang luar biasa, muncul kesadaran baru bahwa mengurangi pembakaran batubara berarti mengurangi emisi pemanasan global. Sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu menjelaskan bahwa sekitar 1,6 juta orang China meninggal setiap tahun karena polusi udara. Itu setara dengan 17% dari semua kematian di Cina. Oleh karenanya Cina mulai mengurangi konsumsi batu baranya.

 

Ini terlihat dari data yang menyebutkan bahwa pasokan batubara ke negara Tirai Bambu sampai Agustus 2015 turun sebesar 11% menjadi 2.016 juta ton. Impor batubara turun pun sebesar 35% di periode ini atau kira-kira 56 juta ton dan produksi domestik China turun 194 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

 

Di negara yang dikenal sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar batu bara dunia ini telah ada kebijakan untuk tidak mengeluarkan izin baru pertambangan batu bara. Kebijakan ini akan berlaku dalam 3 tahun mendatang. Alasan selain karena kebutuhan energi yang turun karena pelemahan ekonomi. Juga Cina sedang bergulat dengan polusi yang mengkhawatirkan sehingga merasa perlu mengembangkan sumber energi lainmya.

 

Ketika Cina mulai turun konsumsi batu baranya India kemudian diharapkan untuk menggantikan peran Cina. Namun ternyata memang tidak demikian yang terjadi. Meskipun pembangkit listrik tenaga uap meningkat, permintaan impor untuk sampai dengan akhir tahun diperkirakan tetap lemah dibandingkan dengan tahun lalu.

 

Dengan rata-rata stok baru bara yang masih tinggi di stockpile yakni rata-rata 12 sampai 22 hari untuk pembangkit listrik. Angka yang masih tergolong tinggi. Sehingga diperkirakan negara ini masih akan mengurangi stok dan mebatasi pertumbuhan permintaan batubara impor.

 

Belum lagi di India ada kebijakan dari Perdana Menteri yang baru untuk mengoptimalkan potensi baru bara dalam negeri. Sudah ada kebijakan bahwa pihak swasta boleh masuk dan menggarap tambang batu bara. Dengan demikian diperkirakan produksi batu bara nasional India akan meningkatt dan berpengaruh pada impor.

 

“Ada kebijakan di India yang membuka kesempatan pihak swasta untuk mengelola tambang. Selama ini hanya pemerintah yang boleh mengelola tambang batu bara. Dan Perdana Menteri yang sekarang pun menginginkan produksi batu bara dalam negeri ditingkatkan,”terang Ketua Kebijakan Publik IAGI Singgih Widagdo.

 

Dampak lainnya sekarang ini banyak perusahaan tambang batu bara India yang mulai mengurangi investasi di tambang-tambang luar negeri. Bahkan ada yang menjual asset tambang luar negerinya dan mulai menggarap tambang yang ada di India.

 

Oleh karenanya menurut Singgih untuk jangka pendek di tahun 2016 tidak ada yang berubah. Mungkin butuh beberapa tahun ke depan bagi sektor tambang batu bara untuk berubah. “Dengan kondisi ekonomi yang melemah, impor melemah kita belum bisa berharap banyak harga batu bara akan pulih signifikan tahun ini,”kata Singgih.

 

Apalagi Cina mulai mengurangi impor batu bara sehingga diperkirakan tahun depan ekspor batu bara Indonesia ke Cina turun 20 juta ton. Sementara India menurut Singgih juga belum terlihat akan terjadi peningkatan permintaan batu bara. Sehingga masih akan cenderung flat untuk tahun depan. Mungkin baru akan kembali pulih dalam 3 sampai 5 tahun mendatang.

 

Sehingga menurutnya produsen batu bara Indonesia belum bisa berharap banyak pada dua pasar batu bara yang menjadi langganan Indonesia. “Mungkin ada peningkatan dari Korea Selatan namun itu tidak significant,”tegas Singgih.

 

Dalam nada yang hampir sama disampaikan General Manager Eksplorasi PT Bhakti Coal Resources, Waskito Tanuwijoyo. “Tahun depan kondisinya tidak berbeda jauh dengan saat ini. Karena permintaan batu bara dunia pun masih rendah, salah satunya karena Cina dan India yang mulai mengurangi pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik,”kata Waskito.

 

Salah satu bukti permintaan batu bara dunia yang terus menurun terlihat dari produksi batu bara nasional yang tahun 2015 lebih kecil dari target. “Tahun lalu produksi batu bara nasional turun karena permintaan batu bara dunia yang melemah. Perusahaan tambang memutuskan untuk memangkas produksinya karena permintaan dunia melemah. Apalagi porsi ekspor batu bara Indonesia masih cukup besar yakni lebih dari 75%,”kata Waskito.

 

Dengan kondisi yang demikian perusahaan tambang batu bara kini hanya bertumpu pada pasar domestik. Salah satunya dari proyek listrik 35 ribu MW. Namun menurutnya butuh waktu kurang lebih 3 sampai 4 tahun untuk bisa berjalan. “Jika sudah ada beberapa pembangkit beroperasi maka akan ada peningkatan konsumsi dalam negeri.Sehingga porsi pasar domestic akan meningkat,”katanya.

 

Hal lain yang dilakukan adalah efisiensi di hampir semua lini termasuk memilih menambang di lokasi yang ekonomis dan juga mengurangi SR. Namun jika itu yang dilakukan maka perusahaan akan kehilangan sebagian potensi batu bara.

 

Terkait dengan kebijakan mengurangi emisi karbon, Waskito menilai sampai sekarang Pemerintah masih menghadapi dilemma. Di satu sisi ingin mengurangi emisi, di tempat lain negara juga butuh pasokan energi dalam jumlah besar. Energi menjadi elemen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Dan batu bara sejauh ini masih menjadi sumber energi yang murah. Sementara jika ingin mengembangkan energi baru dan terbarukan, butuh investasi yang cukup besar. Akan sulit dengan kondisi ekonomi seperti sekarang ini.

 

“Dan sejauh ini Pemerintah masih memilih batu bara sebagai sumber energi yang terlihat dari porsi PLTU yang cukup besar dalam program 35 ribu MW,”kata Waskito.

 

Sebagian perusahaan tambang pun telah melakukan diversifikasi usaha dengan membangun PLTU. Ini salah satu cara untuk menciptakan pasar bagi produksi batu baranya serta meningkatkan nilai tambah. “Dengan membangun pembangkit listrik sendiri, perusahaan setidaknya menjami pasar batu baranya puluhan tahun mendatang,”kata Waskito.

 

Oleh karena itu seperti banyak pemerhati tambang mengaku masih optimis bahwa batu bara masih tetap dibutuhkan sebagai sumber energi. “Indonesia butuh listrik dan PLTU masih menjadi pilihan karena bisa membangun dalam kapasitas yang lebih besar dan juga cadangan batu bara Indonesia juga cukup besar,”tandas Waskito.

 

Untuk mengurangi dampak pada lingkungan pembangunan pembangkit listrik bisa menggunakan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan seperti carbon capture. “Tetapi itu hanya mengurangi dan bukan menghilangkan,”tegas Waskito.

 

Sementara Singgih Widagdo memetakan hanya ada beberapa tambang yang bakal bertahan. “Perusahaan dengan cadangan besar dan kalori tinggi akan bertahan, perusahaan memengah dengan kalori tinggi juga akan bertahan. Perusahaan besar dengan kalori rendah akan bertahan namun disertai upaya efisiensi yang ketat. Tetapi perusahaan kecil dengan kalori rendah sudah pasti ditutup,”jelas Singgih.

 

Dan menurut Singgih inilah moment yang tepat bagi perusahaan untuk kembali menata pertambangan. “Sekarang saat yang tepat untuk kembali menata pertambangan nasional khusus batu bara. Sekarang sudah ada tambang yang ditutup tanpa disuruh. Pemerintah bisa memanfaatkan saat ini untuk menata pertambangan batu bara nasional,”katanya.

 

Tidak hanya itu, kondisi saat ini menurut Singgih menjadi saat yang tepat untuk menata pertambangan batu bara nasional. Sekarang ini beberapa perusahaan tambang pemegang IUP menutup tambangnya tanpa disuruh karena tidak menguntungkan.

 

Selain itu Pemerintah menurut Singgih hendaknya konsisten untuk melihat batu bara tidak lagi sebagai komoditi tetapi sebagai sumber energi. Apalagi sekarang sedang ada revisi UU Minerba yang bisa menjadi titik awal untuk mengubah cara pandang terhadap batu bara tidak lagi sebagai komoditi tetapi sebagai sumber energi.

 

“Untuk itu ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan bahwa batu bara merupakan salah satu komoditi yang mengandung karbon selain migas, kebijakan pengelolaan energi harus dilihat untuk jangka menengah antara 5 sampai 10 tahun dan batu bara harus dipandang sebagai sumber energi,”kata Singgih.

 

Sementara terkait dampak kesepakatan Paris untuk mengurangi konsumsi energi berbasi fosil, Singgih menilai untuk konteks Indonesia masih sulit dilakukan apalagi hingga mencapai angka 29%. Bahkan mau ditingkatkan kalau ada bantuan dana dari luar negeri. Indonesia masih membutuhkan energi yang sangat besar salah satunya lewat program 35 GW.

 

Hal yang bisa dilakukan adalah disetiap pembangkit berbasis batu bara dipasang Fluidized Gas Desluphurization (FGD). “Salah satu tujuannya agar batu bara yang terserap hanya dengan batasan sulfur maksimal 0,35 (daf) atau 0,25 (ar),”katanya.

 

Kepala Riset PT NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada mengatakan untuk komoditi tambang ke depan masih cenderung melemah. “Salah satunya karena permintaan terhadap komoditi tambang masih belum cukup signifikan. Bahkan dalam kondisi sekarang ketika ada musim dingin tidak membantu menaikan harga,”katany Reza. Ini karena permintaan yang belum meningkat.

 

Ditambah lagi dengan harnya minyak mentah juga masih turun. “Kita tidak tahu sampai seberapa besar penurunannya akan berimbas pada batu bara,”terang Reza.

 

Untuk diketahui, produksi batubara tahun 2015 diperkirakan hanya mencapai sekitar 335 juta ton. Dari jumlah tersebut 70% untuk pasar ekspor. Di tahun 2016 Pemerintah menetapkan target 419 juta ton. Namun jika belum ada perbaikan harga, angka tersebut bakal tidak tercapai. Harga Batubara Acuan (HBA) untuk periode Desember 2015 sebesar US$ 53,51 per ton. Sementara sepanjang 2015, rata-rata HBA sebesar US$60,13 per ton. Bandingkan dengan tahun 2014, rata-rata HBA tercatat sebesar US$ 72,62 per ton.