Beranda Tambang Today Menteri Bahlil Minta IMF Tidak Cawe-Cawe Program Hilirisasi RI

Menteri Bahlil Minta IMF Tidak Cawe-Cawe Program Hilirisasi RI

Litium
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia usai konferensi pers soal Kebijakan dan Implementasi Hilirisasi sebagai bentuk Kedaulatan Negara, di Gedung BKPM, Jakarta, Jumat (30/6). Dok: Rian

Jakarta, TAMBANG – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia dengan tegas menentang International Monetary Fund (IMF) yang meminta RI untuk menghentikan larangan ekspor sejumlah komoditas tambang.

Gak boleh negara kita diatur oleh negara lain, gak boleh juga institusi lain apalagi institusi global menilai kita, ini yang sudah bagus,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6).

Kata Bahlil, di satu sisi IMF sebetulnya mendukung program hilirisasi yang tengah dibangun pemerintah karena dapat mendorong transformasi struktural dan menciptakan nilai tambah serta lapangan pekerjaan.

“IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah serta lapangan kerja,” ungkap dia.

Tapi, di lain sisi IMF justru menentang kebijakan larangan ekspor sejumlah komoditas tambang karena menurutnya dapat menimbulkan kerugian negara dan berdampak negatif terhadap negara lain.

“Namun, IMF menentang kebijakan larangan ekspor karena menurut analisa, untung ruginya yang dilakukan oleh IMF, itu adalah pertama menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara dan kedua berdampak negatif terhadap negara lain,” beber Bahlil.

Bahlil pun mempertanyakan pernyataan lembaga Dana Moneter Internasional itu. Katanya, yang mengetahui suatu pendapatan negara tercapai atau tidak, bukan pihak lain, tapi Indonesia sendiri, bahkan dengan program hilirisasi ini tercipta pemerataan pertumbuhan ekonomi di tiap daerah.

“Yang tahu pendapatan negara tercapai atau tidak bukan IMF, tapi pemerintah Indonesia. Tidak hanya berbicara pendapatan negara, akibat hilirisasi itu terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah,” ungkapnya.

Salah satu bukti konkret keberhasilan program hilirisasi ini adalah pada komoditas nikel. Pada tahun 2017-2018, nilai ekspor dari bijih nikel hanya mencapai USD3,3 miliar, tapi setelah diolah di dalam negeri pendapatannya naik 10 kali lipat atau mencapai USD 30 miliar.

“Contoh hilirisasi kita di nikel, ekspor kita 2017-2018 itu hanya USD3,3 miliar. Begitu kita menyetop ekspor nikel, kita lakukan hilirisasi, ekspor kita di 2022 itu sebesar USD 30 miliar,” ujar dia.

Dengan hilirisasi ini juga defisit perdagangan RI dengan China juga semakin bersaing. Pada 2016-2017, defisit perdagangan RI dengan Negeri Tirai Bambu itu mencapai USD 18 miliar, tapi setelah digalakkan hilirisasi defisitnya hanya USD1,5 miliar.

“Akibat hilirisasi, kita dorong ekspor kita tidak lagi berupa komoditas, tapi produk jadi atau setengah jadi, di tahun 2022, defisit perdagangan kita dengan china, itu hanya USD1,5 miliar. Dan di kuartal pertama 2023, kita surplus USD 1 miliar,” beber dia.

Bagi Bahlil, hilirisasi bukan saja soal pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu, hilirisasi bagian dari kedaulatan negara yang merdeka dan tak boleh ada satu pihak pun yang cawe-cawe terhadap program tersebut.

“Dan harus diingat bahwa, hilirisasi tidak hanya dilihat pada konteks untuk menciptakan nilai tambah, tapi hilirisasi juga sebagai bentuk kedaulatan bangsa,” ungkapnya.

“Negara ini sudah merdeka, tidak ada lagi penjajahan terhadap negara ini, yang tahu arah dan tujuan negara ini adalah pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia,” pungkasnya.