Beranda Tambang Today Menteri ESDM Beberkan Alasan Moratorium Smelter Nikel Kelas II

Menteri ESDM Beberkan Alasan Moratorium Smelter Nikel Kelas II

Right Issue Vale
Ilustrasi: Smelter nikel matte milik PT Vale Indonesia Tbk di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Dok: Rian

Jakarta, TAMBANG – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif membeberkan alasan moratorium pembangunan fasilitas pemurnian alias smelter nikel kelas II. Kata dia, pembatasan tersebut selain mengontrol suplai dan demand juga untuk lebih fokus pada hilirisasi nikel yang diperuntukkan bagi bahan baku baterai kendaraan listrik seperti prekursor.

“Sekarang sudah banyak nih, ada yang masuk buat prekursor. Ya arahnya kesana (untuk baterai kendaraan listrik),” ucap Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (20/10).

Saat ini Kementerian ESDM sedang melakukan koordinasi intensif dengan Kementerian Perindustrian terkait moratorium smelter nikel berbasis Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) tersebut. Smelter RKEF dikenal juga dengan smelter pirometalurgi yang menghasilkan nickel matte, nickel pig iron (NPI) dan feronikel sebagai bahan baku stainless steel.

“Kita sedang koordinasi dengan Kementerian Perindustrian. Karena kebanyakan izin keluar dan tidak terintegrasi di sana. Kalau gak, habis kita punya nikel,” beber dia.

Menurutnya, industri nikel dalam negeri sudah seharusnya fokus pada hilirisasi yang bisa menopang pada program energi bersih yang berkelanjutan. Termasuk untuk bahan baku pembangkit listrik hijau dan kendaraan listrik.

“Itu modal utama kita, dikasih modal utama mineral yang bisa membawa elektrifikasi dan energi bersih,” jelasnya.

“Kita harus benar-benar mengevaluasi bahwa kedepan seharusnya kita yang menilai. Sementara juga industri-industri hilir dalam negeri yang untuk menampung processing-processing yang punya nilai tambah itu harus banyak ditarik,” pungkasnya.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara  Irwandy Arif menyampaikan bahwa saat ini terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sedangkan untuk arah proses baterai hidrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.

Pada tahap perencanaan ke arah pirometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hidrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun. Karena itu moratorium nikel kelas II perlu dilakukan.

“Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 melter yang terdiri dari 97 smelter pirometalurgi dan 19 smelter ke arah hidrometalurgi,” ungkap Irwandy.

Sejauh ini, produk hilir nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik baru mencapai nikel sulfat yang dimiliki PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), anak usaha PT Trimegah Bangun Persada milik Harita Nickel Group. Nikel sulfat adalah bahan utama penyusun precursor.

Sementara pabrik precursor sendiri baru pada tahap penjajakan oleh Perusahaan baterai asal Tiongkok, China Huayou Cobalt dan LG Chem, Perusahaan asal Korea Selatan. Keduanya telah melakukan perjanjian kerja sama pembangunan pabrik baterai di Indonesia di Kawasan Industri Huayou Quzhou, China September kemarin. Nantinya pabrik tersebut akan menghasilkan 50 ribu ton precursor dan refining per tahun.