Beranda ENERGI Migas Modal Cari Minyak di Indonesia Tidak Murah

Modal Cari Minyak di Indonesia Tidak Murah

ilustrasi

Jakarta-TAMBANG. Banyak yang menilai merosotnya harga minyak mentah yang jatuh di bawah angka US$ 70 per barel menjadi ancaman bagi kelangsungan proyek hulu minyak dan gas bumi (migas). Namun, pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memastikan proyek hulu masih berjalan sesuai jadwal.

 

“Proyek-proyek hulu masih berjalan sesuai jadwal, tidak ada yang tertunda akibat anjloknya harga minyak saat ini,” ujar Wakil Kepala SKK Migas, Johanes Widjonarko, ditemui di sela diskusi Perbaikan Iklim Investasi di Sektor Hulu Migas, di Jakarta, KamisĀ (11/12).

 

Johanes mengakui, kenyataannya, karena menurunnya harga minyak dunia saat ini membuat investor hulu migas bertindak hati-hati. “Karena pada prinsipnya semua biaya terus naik dan ini proyek berkontrak 4-5 tahun lalu, sementara turunnya harga minyak ini kan terjadi pada periode ini saja, tentu akan sangat berpengaruh pada kelanjutan proyek mereka, jika harga minyak terus turun,” ucapnya.

 

Ia mencontohkan, salah satu proyek dengan investasi yang sangat besar di laut dalam di Selat Makasar yang dilakukan Chevron Indonesia Deepwater Development (IDD), sampai saat ini terus berlanjut.

 

“Saat ini sedang kajian teknis terkait penambahan cadangan, IDD yang Gendalo Gehem dan Bangka tetap berjalan. SKK Migas juga merekomendasikan perpanjangan kontrak untuk Chevron agar proyek IDD mereka tetap ekonomis dikembangkan,” ungkapnya.

 

Namun, ia juga tak memungkiri jika hal tersebut menjadi kendala mangkrangknya proyek hulu migas. Alasannya, karena risiko subservice di Indonesia dinilai sangat tinggi karena potensi minyak berada di remote area, seperti di Selat Makassar dan Papua, walau potensi di daerah tersebut cukup besar.

 

“Dana yang dikeluarkan KKKS (kontraktor Kontrak Kerjasama) seperti Total, Exxon Mobil, Statoil, Talisman mencapai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 14 triliun untuk eksplorasi di Selat Makassar dan Papua, tapi hasilnya nol, dan semua perusahaan tersebut sudah di-terminate,” tuturnya.

 

Johanes menambahkan, sistem bagi hasil (PSC) antara negara dengan perusahaan migas merupakan salah satu pilihan terbaik, untuk mengundang investor berinvestasi di hulu migas di Indonesia.

 

“Dalam PSC mengenal atau melekat yang namanya cost recovery . Karena jika risiko hulu migas tinggi seperti di Indonesia, maka dengan adanya PSC sangat baik, kalau risikonya rendah mungkj pilihan sistem royalti lebih baik. Tapi tidak ada keharusan kalau risiko tinggi tidak boleh pakai sistem royalti and tax (pajak), itu tinggal pilihan saja, dihitung plus minusnya nanti diuji oleh investor,” jelasnya.

 

Di tempat yang sama, Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz mengungkapkan, diprediksi harga minyak terus turun mendekati US$ 50 per barel. “Hal tersebut akan berdampak pada proyek investasi hulu di dunia mencapai US$ 150 miliar tertunda, karena proyek mereka hanya ekonomis (menguntungkan) jika minyak harganya US$ 70-80 per barel,” kata Lukman.