Beranda ENERGI Energi Terbarukan Pengembangan Energi Terbarukan Terganjal Ego Sektoral

Pengembangan Energi Terbarukan Terganjal Ego Sektoral

Jakarta-TAMBANG-Pemerintah terus mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk secara perlahan menggantikan peran energi berbasis fosil. Energi berbasis fosil akan habis dan butuh waktu yang lama untuk membentuknya. Sementara energi baru dan terbarukan layak menjadi pilihan energi saat ini dan masa depan. Pemerintah bahkan telah menetapkan pada 2025, porsi energi terbarukan dalam bauran energi sebesar 23 persen.

 

Namun target ini tidak bakal tercapai jika semua pihak yang terkait dalam pengembangan energi terbarukan ini masih mengutamakan ego sektoral. Oleh karenanya jika ingin energi terbasukan ini bisa tumbuh pesat maka kepentingan sektor harus ditinggalkan.

 

Hal ini disampaikan Ketua Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM Widyawan Prawiraatmadja dalam diskusi bertajuk Mencari Energi Murah untuk Memenuhi Kebutuhan Industri Nasional di Jakarta pada Kamis (9/4). Menurut Widyawan, masalah kepentingan pribadi atau kelompok bisa menghambat percepatan bauran energi nasional.

 

“Untuk melancarkan suatu kebijakan perlu konsistensi. Jika tak bertahan maka rencana itu akan gagal dan efeknya kepada kegagalan bangsa. Untuk itu diharapkan, menuju target peningkatan penggunaan energi terbarukan semua kepentingan kelompok atau pribadi harus dilepaskan. Itu pentingan demi efisiensi industri dan negara umumnya,”kata Widyawan.

 

Tidak hanya itu, Widyawan juga menekankan keberhasilan sebuah kebijakan sangat bergantung pada komitmen yang kuat. Sebut saja terkait peningkatan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 15 persen dari 10 persen. Kendatipun masih banyak halangan tetapi Kementerian ESDM tetap ngotot untuk menjalankannya.

 

Komitmen yang kuat dari Pemerintah mestinya didukung oleh semua pihak terkait. Maksudnya, tidak boleh ada satu pun pihak yang berupaya untuk mengikat suatu kebijakan dengan kepentingannya sendiri. Ego sektoral harus dihilangkan untuk mengegoalkan kebijakan nasional.

Widyawan mengaku optimis, dengan adanya pengurangan alokasi anggaran untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) maka fleksibilitas yang diperoleh pemerintah semakin besar. Hal itu termasuk untuk mengembangkan infrastruktur EBT yang selama ini masih minim.

“Momentum ini harus dimanfaatkan. Soalnya, jika tidak dimanfaatkan maka negara akan merugi. Sehingga segala ego sektoral di pihak manapun harus ditiadakan untuk mengeksekusi kebijakan ini,”kata dia.

 

Saatnya Energi Terbarukan Diprioritaskan

 

Seperti diketahui dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015 hingga 2019 Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada tahun 2019. Jumlah tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan target pada tahun 2015 yang hanya sebesar 5,8 persen.

Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Tisnaldi menambahkan, untuk mencapai target tersebut industri merupakan sandarang ekonomi. Maksudnya, jika industri bertumbuh maka ia akan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Demikianpun sebaliknya ketika industri terpuruk maka target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai.

 

Karena itu kata dia, dalam mendorong pertumbuhan industri tidak cukup hanya dengan pasokan energi semata. Artinya, meskipun pasokan energinya banyak tetapi jika mahal maka itu akan menghambat pertumbuhan industri. Sehingga, ia menyarankan agar pengembangan EBTKE harus menjadi prioritas.

 

Dia menyampaikan, sekitar 11 tahun lagi produksi minyak kita akan habis. Hal serupa juga pada gas produksinya berkurang dan diprediksikan pada tahun 2019 Indonesia akan impor gas. Kalaupun ada tambah dia lokasinya berada di remote area, atau laut dalam. Kondisi itu mengakibatkan sulitnya melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Kalaupun bisa  maka akan memakan waktu yang sangat lama serta pengembalian investasi yang lama pula.

 

Tisnaldi menyampaikan kini merupakan saat yang tepat untuk menngembangkan dan meningkatkan penggunaan EBTKE.”EBTKE tidak boleh dipandang sebagai energi alternatif tetapi harus menjadi energi utama. Sebab, jika masih dilihat sebagai energi alternatif berarti ia akan dinomorduakan. Paradigma itu harus diubah,”terang dia.

 

Lebih dari itu lagi dia juga meminta agar pihak industri siap membuka diri. Bagi dia, selain masalah benturan kepentingan, yang perlu dipersoalkan lagi terkait dengan pemanfaatan EBT ialah apakah industri siap menampungnya. Soalnya, lambatnya pengembangan konservasi eneri saat ini tak bisa bisa saja karena dua hal yakni lambatnya preesing dari Pemerintah dan industri yang tertutup.

 

Andiyanto Hidayat Technology and Product Development Manager Gas Directorate Pertamina menyampaikan, saat ini Pertamina tengah keluar dari kebiasaan bisnisnya di sektor migas dengan mengembangkan EBT. “Itu untuk mendukung rencana Pemerintah,”ungkap Andiyanto.