Beranda Tambang Today Perda Zonasi  Terlihat “Dipaksakan” oleh KKP ?

Perda Zonasi  Terlihat “Dipaksakan” oleh KKP ?

Jakarta, TAMBANG – Ahli Hukum Pertambangan Henry Dunant Simanjuntak, menilai Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Babel) belum bisa membedakan apakah Perda Zonasi (Perda RZWP3K) sebagai peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan.

 

Perda yang didorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera selesai awal tahun 2020 ini, dinilai Henry sebagai aturan yang dipaksakan Kementerian KKP tanpa menghiraukan asas desentralisai dan otonomi daerah, yang sudah diletakkan dalam perundang-undangan (wetgeving) ataupun peraturan sebelumnya.

 

“Secara yuridis formal UU No 12 tahun 2011 menempatkan kedudukan Perda sebagai produk hukum yang paling rendah tingkatannya dalam skema hirarki peraturan perundang-undangan. Namun kali ini, Perda menjadi suatu produk hukum tingkatan (level) daerah yang didorong, diminta bahkan “dipaksa” oleh tingkat Kementerian yang mengatasnamakan Pemerintah Pusat. Ada apa ini?” tanya Henry Dunant Simanjuntak.

 

Menurutnya, perlu pemahaman yang menyeluruh terhadap materi muatan dan mekanisme pembentukan Perda ini sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 23 Tahun 2014.

 

Keduanya menurut Henry, bersifat lex specialis, beserta seluruh kondisi khusus daerah itu sendiri dan atau wujud dari penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undang yang lebih tinggi. Serta tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kepentingan negara sebelumnya didaerah itu.

 

“Bahkan apabila ini terjadi maka Perda sebagai produk hukum yang harus diuji apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak, dan kalau bertentangan harus dibatalkan (lex superior derogate lex inferior),” jelas Henry.

 

Karena itu, Henry mengingatkan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP ini tidak menampilkan “ego sektoral” yang terselubung, untuk menjadikan Kementeriannya sebagai satu-satunya Kementerian yang berwewenang menerbitkan Izin Lokasi dan Pengelolaan atas Ruang Laut yang ditentukannya. Serta tidak segan-segan  menabrak makna  dari Pasal 18 A ayat (1) dan (2) yang jelas-jelas menyatakan, hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah harus memperhatikan “kekhususan dan keragaman daerah” yang sudah diatur oleh Undang-Undang.

 

“Jangan menjadikan kajian yang belum teruji menjadi dasar hukum meremehkan UUD 1945 yang merupakan konstitusi NKRI (a constitution is a supreme law of the state) itulah point kebijakan dalam mengimplememtasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dan jangan memakai ego sektoral sebagai kelengkapan pokok fikiran dalam hal ini,” pungkas Henry.