KARAWANG- TAMBANG. Bermula dari mengamankan emisi CO2 agar gas yang dihasilkan dari Field Subang sesuai ketentuan dan bisa dijual, akhirnya CO2 yang disterilkan bisa menghasilkan nilai tambah karena bisa dijual. Permintaan terhadap CO2 dari Field Subang terus meningkat. Tetapi proses jual beli yang tidak bisa dilakukan oleh PT Pertamina EP, membuat belum ada penambahan jumlah Co2 yang dimanfaatkan serta jumlah konsumen.
“Permintaan terhadap CO2 hasil pemurnian di Field Subang terus meningkat, beberapa pembeli baru sudah menunjukan minat mereka. Tetapi kita belum bisa memenuhi, masih harus menunggu proses yang dilakukan oleh Pusat. Kita hanya memproduce, urusan jualan pusat yang punya kewenangan,” demikian dijelaskan Defrian Basya, Field Manager PT Pertamina EP Field Subang, akhir pekan lalu.
Konsumen CO2 hasil pemurnian dari Field Subang, sejauh ini masih PT Samator dan juga PT Aneka Gas Industri (AGI). Kapasitas CO2 untuk PT Samator sebesar 1,5 MMSCFD dan untuk AGI sebesar 0,5 MMSCFD. CO2 untuk Samator, dihasilkan dari stasiun pengumpul lapangan Cilamaya. Sementara untuk PT AGI, didapatkan dari kegiatan pemurnian CO2 di stasiun pengumpul lapangan Subang.
Di luar PT Samator dan AGI, beberapa perusahaan sudah menyatakan keinginan mereka untuk membeli CO2 dari Field Subang. Saat ini tengah dilakukan proses administrasi dan legal yang dilakukan oleh pihak PT Pertamina (Persero). Defrian berharap, dalam waktu dekat, semua proses legalisasi dan adiministrasi tersebut bisa diselesaikan, sehingga nilai tambah dari kegiatan pengurangan emisi CO2 di Field Subang, bisa terus bertambah.
Defrian menjelaskan, pembangunan teknologi pemurnian C02 (CO2 Removal) dilakukan karena produksi gas yang dihasilkan dari Field Subang rerata mengandung 20 persen CO2. Jika tetap diproduksi, tidak akan ada yang membeli. Karena sesuai regulasi, gas yang boleh diproduksi dan diniagakan yakni yang memiliki kandungan CO2 kurang dari 10 persen.
Padahal, kandungan CO2 di Field Subang khususnya dari lapangan Cilamaya sekitar 40 persen, kemudian untuk lapangan Subang sekitar 23 persen. Jumlah yang jauh melebihi batas ketentuan. Defrian bahkan berseloroh, kalau tidak ada teknologi pemurnian CO2, maka tidak akan ada Field Subang. “Setelah menggunakan CO2 removal, turun menjadi 5 persen,” jelasnya lagi.
Pembangunan teknologi pemurnian CO2 pertama kali dilakukan pada tahun 2000 di lapangan Cilamaya. Lapangan Subang dibangun 3 tahun setelahnya. Dari pembangunan CO2 removal tersebut, pada 2005, CO2 yang dimurnikan dari lapangan Cilamaya mulai dijual dengan konsumen PT Samator. Sementara CO2 removal dari lapangan Subang, mulai dikomersialkan pada 2013 dengan pembali PT Aneka Gas Industri (AGI).
“Kalau harganya sebesar RP 3 ribu per MSCF. Harga dan prosesnya dilakukan oleh pusat,” katanya ketika ditanya tentang harga jual CO2.
Ia menjelaskan, CO2 yang dihasilkan dari proses CO2 removal tersebut dimanfaatkan untuk keperluan indusri minuman, untuk membuat dry ice serta juga untuk industri penerbangan. ‘kayak kita minum-minuman bersoda, kan ada gasnya. Nah itu berasal dari CO2 yang kita murnikan tersebut,” jelasnya.
PT Pertamina EP Field Subang merupakan perusahaan migas yang pertama di Indonesia yang telah melakukan pemanfaatan emisi CO2 untuk dimanfaatakan lebih lanjut, sehingga memiliki nilai tambah. “Mungkin yang lain juga bisa melakukan hal serupa, tetapi inisiasi dan upaya yang kita lakukan untuk mengurangi emisi dan memberi nilai tambah, merupakan nilai lebih yang kami miliki,” imbuhnya.
Gas yang dihasilkan dari Field subang diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan industri di wilayah Jawa Barat, memenuhi kebutuhan di kawasan indutrial di sekitar sampai untuk industri seperti PT Krakatau Steel (KS). Batas minimal kandungan CO2 pada gas yang dijual pada industri di Jawa Barat sekitar 9 persen. Sisanya, sekitar 14 persen selama ini dibuang sebagai flare gas.