Beranda ENERGI Migas PHE Raja Tempirai Pertanyakan Putusan Pengadilan Negeri

PHE Raja Tempirai Pertanyakan Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta – TAMBANG. Sengketa bisnis antara Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai  dengan PT Golden Spike Energy Indonesia terus berlanjut. PHE meniliai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan pihak Golden Spike banyak mengandung pelanggaran, baik dalam perjanjian kontrak ataupun pelanggaran hukum yang berlaku di Indonesia.

 

General Manager Legal PHE, Supriyadi mengatakan dalam perjanjian kontrak kerja sama antara PHE dan Golden Spike pada pasal 11.1.2 PSC disebutkan bahwa para pihak wajib menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul secara musyawarah. Atau, jika terjadi perselisihan, diselesaikan melalui arbitrase (ICC) bukan peradilan umum.

 

Atas dasar kontrak itu, ia berpendapat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengurusi gugatan yang diajukan Golden Spike kepada PHE. Ditambahkan Supriyadi, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menerima gugatan Golden Spike didasarkan pada pertimbangan bahwa ketentuan abitrase mengharuskan para pihak yang saling bertentangan berasal dari negara yang berbeda.

 

“Pertimbangan itu mengada-ada dan tidak ada dalam klausul ICC. Jelas hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UU Arbitrase No. 30 tahun 2009,” kata Supriyadi di Jakarta, Kamis (12/3).

 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, biasanya sebuah pihak yang berperkara memutuskan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan umum meskipun proses pengadilan arbitrase sudah berjalan, lantaran merasa putusan arbitrase tidak menguntungkan bagi dirinya.

 

Sebuah perkara baru bisa diajukan ke pengadilan umum apabila ada unsur perbuatan melawan hukum. Jika dalam gugatan tersebut hakim menemukan adanya pasal yang merujuk dalam perjanjian kerja sama, seharusnya hakim tersebut menolak untuk melanjutkan proses gugatan karena wewenang ada di lembaga arbitrase yang ditunjuk.

 

“Sudah banyak kasus terjadi. Mereka sudah sepakat dengan arbitrase tapi lari lagi ke pengadilan umum. Itu sebagai strategi karena di arbitrase tidak akan menguntungkan dirinya atau sering digunakan untuk memaksa pihak lawan agar berdamai.”

 

Dalam kasus seperti yang dihadapi PHE, lanjutnya, jika gugatan yang diajukan ke pengadilan adalah soal wanprestasi berarti berdasarkan perjanjian. Itu berarti sejak awal gugatan seharusnya tidak bisa ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

“Seharusnya oleh hakim di pengadilan banding nanti masalah seperti ini diluruskan. Hakim harus memahami soal arbitrase supaya lembaga pengadilan tidak terbebani masalah-masalah seperti ini,” ujarnya.

 

Sementara itu, mantan hakim agung Benjamin Mangkoedilaga menguatkan pendapat itu. Menurutnya, lembaga pengadilan umum tidak memiliki wewenang untuk menangani masalah hukum yang sudah diajukan ke lembaga arbitrase. Jika tetap dilaksanakan merupakan pelanggaran atas UU Arbitrase. “Sangat menyedihkan dan mencoreng muka Indonesia di dunia internasional. Pelanggaran ini juga berpotensi menggangu iklim investasi,” katanya.

 

Benjamin menyatakan, tak habis pikir mengapa masih ada hakim peradilan umum yang menangani perkara arbitrase. Padahal, selain perundang-undangan sudah terang-benderang, yurisprudensi untuk masalah ini juga teramat banyak. “Hakim jangan pura-pura tidak tahu. UU kan sudah jelas melarang mereka menangani sengketa, yang seharusnya ditangani badan arbitrase,” katanya.

 

Meski pengadilan negeri mengabulkan sebagian permohonan Golden Spike, Benyamin yakin pada tingkat yang lebih tinggi, baik banding maupun kasasi, akan dimenangkan oleh PHE. “Saya yakin, 99,99 persen bahwa keputusan pengadilan negeri akan dibatalkan. Alasannya sudah jelas, karena memang bertentangan dengan UU Arbitrase,” katanya.