Beranda Tambang Today PLN Wajib Beli Listrik Swasta

PLN Wajib Beli Listrik Swasta

PLN Wajib beli Listrik Swasta

Pemerintah juga menetapkan aturan utama perjanjian jual beli tenaga listrik. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman mengatakan, beleid ini diterbitkan agar ada kesetaraan risiko dalam jual beli listrik antara perusahaan swasta (independent power producer) sebagai penjual dengan PT PLN sebagai pembeli. Menurut Jarman, aturan ini adalah bukti kehadiran negara dalam pengelolaan ketenagalistrikan.

“Permen ini sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan kehadiran negara,” katanya.

Jarman menjelaskan, peraturan menteri ini lengkap mengatur perjanjian jual beli listrik untuk semua jenis pembangkit, termasuk listrik tenaga air, panas bumi, dan sumber energi terbarukan lainnya.

Di dalamnya diatur mulai dari jangka waktu perjanjian jual beli, hak dan kewajiban penjual dan pembeli, jaminan, awal mulai operasi komersial (commercial of date), pasokan bahan bakar, transaksi, penalti terhadap kinerja pembangkit, pengakhiran perjanjian jual beli, pengalihan hak, persyaratan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan, dan keadaan kahar.

Dalam regulasi ini ditegaskan bahwa PLN wajib membeli listrik sesuai availability factor (AF) atau capacity factor (CF) dengan harga sesuai persetujuan. Sementara IPP wajib menyediakan energi sesuai kontrak. Dalam hal penjual tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan penjual, penjual kena denda.

Besarnya penalti proporsional, sesuai biaya yang dikeluarkan PLN untuk menggantikan energi yang tidak dapat disalurkan.

Namun jika PLN tidak dapat menyerap energi listrik sesuai kontrak karena kesalahan PLN, maka perusahaan plat merah ini wajib membayar penalti kepada penjual, besarnya disesuaikan komponen investasi. Pelaksanaan operasi sistem untuk memenuhi kebutuhan beban melalui pembangkitan dengan biaya termurah.

***
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 mengatur tentang pembelian tenaga listrik dari pembangkit energi terbarukan yang dilakukan dengan mekanisme harga patokan, atau pemilihan langsung. Pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan berbasis teknologi tinggi, efisiensinya sangat variatif, dan sangat tergantung pada cuaca setempat.

“Permen ini juga mengatur bahwa PLN wajib mengoperasikan pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas sampai 10 MW secara terus-menerus,” jelas Jarman.

Pemerintah juga menetapkan, bila biaya pokok penyediaan (BPP) setempat di atas rata-rata BPP nasional, harga pembelian tenaga listrik paling tinggi sebesar 85% dari BPP setempat. Khusus PLT sampah, dan PLT panas bumi, paling tinggi sebesar BPP setempat.

Dalam hal BPP setempat sama atau di bawah rata-rata BPP nasional, harga pembeliannya sebesar sama dengan BPP setempat. Khusus PLT sampah dan PLTP, ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

“Dasar pengaturannya berdasarkan BPP yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kalau sekarang, pakai BPP tahun kemarin, sehingga akan memudahkan investor menghitung,” tambah Jarman.

Ketiga, pelaksanaan uji tuntas. Jarman melanjutkan, dalam rangka pembelian tenaga listrik, PLN wajib melakukan uji tuntas atas kemampuan teknis dan finansial pengembang pembangkit listrik, yang dapat dilakukan oleh agen pembeli yang ditunjuk PLN.

Poin keempat, penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Dalam melakukan pelelangan, pemilihan, atau penunjukan pengembang, PLN mengutamakan perusahaan yang menggunakan tingkat komponen dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“PLN wajib menginformasikan secara terbuka kondisi ketenagalistrikan setempat yang siap menerima pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan. Ini adalah poin kelima,” Jarman mengatakan.

Keenam, PLN wajib menyusun dan mempublikasikan pokok-pokok perjanjian jual beli listrik yang mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap badan usaha yang telah mendapatkan penetapan sebagai pemenang kuota kapasitas PLT surya fotovoltaik, penetapan sebagai pengembang PLT air, PLT biomassa, PLT biogas, atau PLT sampah, atau pemenang lelang wilayah kerja pengusahaan panas bumi, dan yang telah menandatangani perjanjian jual beli listrik, proses pelaksanaan pembelian dan harga tenaga listriknya sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani.

Bagi yang belum menandatangani perjanjian jual beli, proses pelaksanaan pembeliannya sesuai dengan aturan yang sebelumnya, sepanjang tidak bertentangan ketentuan peraturan menteri yang baru ini.

Bagi yang telah ditetapkan sebagai pemenang lelang WKP Panas Bumi, namun belum menandatangani perjanjian jual beli, serta bagi BUMN yang mendapat penugasan pengusahaan panas bumi, proses pelaksanaan dan harga tenaga listriknya sesuai dengan ketentuan sebelumnya.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Dharma menyatakan, sudah mengirim surat peninjauan kembali atas Permen ESDM No.12/2017. Peraturan itu dinilai tidak mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan. Lagi pula, kata dia, aturan itu bertentangan dengan UU No.30/2007 tentang Energi, serta Peraturan Pemerintah No.79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Surya menjelaskan, Pasal 7 UU No.30/2007 menyatakan, harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan. Maksudnya, harga harus mencerminkan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan konservasi, serta keuntungan berdasarkan kemampuan masyarakat dan ditetapkan pemerintah.

“Pemerintah perlu menerbitkan pedoman perhitungan harga keekonomian berkeadilan,” tulis dia dalam surat yang dikirimkan ke Menteri ESDM Ignasius Jonan.

Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai, regulasi yang baru ini menghambat bauran energi 23% pada tahun 2025. Selain itu, investasi energi baru dan terbarukan hanya akan menarik bagi investor di wilayah-wilayah yang memiliki biaya pembangkitan masih tergolong tinggi.

“Seharusnya (pemerintah) konsisten dengan Rencana Umum Pengusahaan Ketenagakistrikan, bahwa listrik dari energi fosil akan dikurangi subsidinya. Dan memang tarif ekonomis EBT tidak bisa dipaksakan bersaing dengan batubara,” terang Arthur.
Ali Herman Ibrahim, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menyebut, Permen 12/2017 itu menjadi tantangan bagi pengembang listrik. Salah satunya mengenai akurasi dan dasar penentuan biaya produksi listrik. Pasalnya penentuan harga listrik biasanya mencakup beberapa parameter dan kondisi.
Dengan begitu, penentuan harga sepatutnya tidak absolut pada saat pembangkit listrik EBT selesai dan siap beroperasi. Untuk itu, jika aturan itu diterapkan, pengusaha minta insentif fiskal seperti pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak dalam jangka waktu tertentu. “Insentif itu sama seperti di Dubai,” ujar dia.

Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, Jarman menambahkan, permintaan insentif dari pengembang listrik akan dibicarakan dengan Kementerian Keuangan. Saat ini, pihaknya akan bicara dengan pengembang listrik untuk menentukan insentif yang akan diberikan untuk pengembangan listrik energi baru dan terbarukan. (Lebih lanjut silakan simak Majalah TAMBANG Edisi Februari 2017)