Beranda Mineral Presdir Vale Indonesia; Hasil Putusan WTO Tidak Banyak Berpengaruh Pada Hilirisasi

Presdir Vale Indonesia; Hasil Putusan WTO Tidak Banyak Berpengaruh Pada Hilirisasi

Jakarta,TAMBANG,-Indonesia masih menunggu keputusan WTO terkait gugatan kebijakan larangan ekspor nikel. Namun menurut Presiden Direktur PT Vale Indonesia,Tbk (Vale)  Febriany Eddy apa pun hasilnya tidak akan berpengaruh pada hilirisasi nikel nasional.

“Menang atau kalah kita harus siap. Namun yang sekarang bisa dilihat adalah hilrisasi untuk komoditi nikel sudah terbilang berhasil. Dulu, sampai tahun 2014 smelter nikel yang beroperasi hanya ada dua yakni milik PT Aneka Tambang,Tbk dan milik PT Vale Indonesia,Tbk. Tetapi sekarang bisa dilihat sudah ada banyak smelter nikel yang dibangun,”ungkap Febriany dalam konferensi pers terkait Penandatanganan Head of Agreement Sorowako HPAL, di Jakarta, Selasa (13/9).

Febriany melanjutkan saat ini smelter yang banyak dibangun masih yang menggunakan teknologi RKEF dengan produk yang dihasilkan NPI dan Ferronikel. Produk-produk tersebut merupakan bahan baku untuk baja. Namun Pemerintah juga mendorong pembangunan smelter yang mengolah nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

“Untuk smelter HPAL nikel yang dikonsumsi adalah nikel kadar rendah atau yang dikenal limonite. Ini tidak sama dengan nikel saprolit kadar tinggi yang produknya untuk bahan baku baja. Untuk nikel kadar rendah akan menjadi tidak ekonomis kalau diekspor. Biaya transportasi akan lebih mahal. Secara inheren memang harus diproses dekat tambang,”terangnya.

Oleh karenanya Ia mengaku tidak terlalu khawatir dengan keputusan WTO. Secara khusus untuk nikel kadar rendah tidak akan terganggu oleh keputusan WTO.

Hal ini pun ditambahkan oleh Direktur Vale Bernardus Irmanto yang mengatakan bahwa saat ini kondisi pasar nikel kelas dua sudah kelebih pasokan (oversuplai). Sementara jika mau diekspor harga jualnya harus lebih tinggi dari Harga Patokan Mineral (HPM). “Belum lagi kalau menjual ore lalu diproses menjadi NPI, maka produknya menjadi tidak kompetitif. Sementara untuk pertumbuhan produksi banya sekarang ini masih single digit. Ini sama dengan menggarami laut.

“Kemudian untuk yang kadar rendah tidak akan ekonomis karena biaya logistik jauh lebih besar. Jadi kita tidak perlu terlalu khawatir dengan hasil putusan WTO,”pungkas Bernardus.