Beranda Tambang Today Umum PwC : Tahun 2015 Sebagai Tahun Terburuk Bagi Sektor Pertambangan

PwC : Tahun 2015 Sebagai Tahun Terburuk Bagi Sektor Pertambangan

Jakarta-TAMBANG. Tahun 2015 telah menjadi tahun buruk. Demikian kesimpulan dari haris Laporan tahunan PricewaterhouseCoopers (PwC) di sector pertambangan. Ini terlihat dari beberapa rekor baru yang dibukukan oleh 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia.

Dalam Laporan ke-13 dari rangkaian laporan Industri PwC seperti yang diterima oleh Majalah TAMBANG 40 perusahaan pertambangan global terbesar mencatat kerugian bersih kolektif (US$27 miliar). Ini merupakan yang pertama dalam sejarah di mana kapitalisasi pasar turun sebesar 37%. Dan lebih dari itu penurunan ini bahkan telah secara efektif menghapus keuntungan yang diperoleh selama siklus super komoditas.

Jock O’Callaghan, Global Mining leader di PwC mengatakan tak diragukan lagi, tahun lalu (2015) merupakan tahun penuh tantangan bagi sektor pertambangan. Penurunan harga komoditas sebesar 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini yang mendorong perusahaan pertambangan harus berupaya keras meningkatkan produktivitas, beberapa di antaranya berjuang untuk bertahan, diikuti dengan pelepasan aset atau penutupan usaha.

“Kami juga melihat bagaimana pemegang saham bersikeras untuk berfokus pada jangka pendek, yang berdampak pada ketersediaan modal untuk diinvestasikan dan mengakibatkan terbatasnya opsi untuk pertumbuhan,”tandas Jock O’Callaghan.

Meski demikian menurut Jock industri ini adalah industri yang tangguh, meskipun perusahaan pertambangan kini sedang mengalami penurunan namun jelas mereka masih bertahan.

Kondisi yang demikian kemudian berimbas pada perusahaan tambang Indonesia. Di tahun 2015 tidak ada perusahaan pertambangan di Indonesia dengan kapitalisasi pasar melebihi US$4 miliar. Angka tersebut merupakan batas terendah agar dapat masuk dalam jajaran 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar.

Perusahaan tambang Indonesia dalam masa-masa ini selain berjuang mengatasi masalah lemahnya harga komoditi juga menurunnya permintaan dari Tiongkok dan negara berkembang lainnya. Hal ini menyebabkan penurunan yang signifikan atas kinerja keuangan perusahaan pertambangan di Indonesia.

Sacha Winzenried, Lead Adviser for Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia menjelaskan kapitalisasi pasar keseluruhan perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia turun dari Rp 255 triliun pada tanggal 31 Desember 2014 menjadi Rp 161 triliun pada tanggal 31 Desember 2015. Penurunan sebesar 37% ini terutama dipicu oleh jatuhnya harga komoditas.

“Namun, pada tanggal 30 April 2016, kapitalisasi pasar perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia meningkat sebesar 23% menjadi Rp.198 triliun yang sejalan dengan kenaikan harga sejumlah komoditas selama empat bulan pertama tahun 2016, dan perbaikan keyakinan investor terhadap sektor pertambangan Indonesia mengingat tindakan yang telah dilakukan untuk mengantisipasi dampak penurunan harga komoditas,”tandas Sacha.

Winzenried selanjutnya mengatakan serupa dengan perusahaan pertambangan global, perusahaan pertambangan di Indonesia akan terus berfokus pada produktivitas, pengurangan biaya dan disiplin modal selama masa sulit industri ini.

PwC juga menemukan beberapa hal yang disampaikannya dalam laporannya dimana para investor 40 perusahaan pertambangan terbesar di dunia karena keputusan investasi dan pengelolaan modal mereka yang buruk dan, dalam beberapa hal, karena menyia-nyiakan manfaat yang didapatkan dari periode mining boom.

Ada kekhawatiran tekait dengan “spot mentality” yang ditunjukan pemegang saham dengan hanya fokus pada fluktuasi harga komoditas dan imbal hasil jangka pendek daripada sudut pandang investasi jangka panjang yang dibutuhkan pada sektor pertambangan.

Di tempat lain perusahaan tambang mulai fokus untuk memaksimalkan nilai dengan melepas aset serta menunda proyek marginal atau mengurangi kapasitas oleh 40 perusahaan pertambangan terbesar. Sebagai buktinya, terjadi penurunan signifikan pada belanja modal yang mengisyaratkan iklim investasi yang hampir stagnan.

Perusahaan tambang juga menaruh perhatian lebih besar pada pengurangan biaya mengakibatkan penurunan biaya operasi sebesar 17% di tengah peningkatan volume produksi dan rendahnya biaya masukan, sebuah prestasi yang luar biasa mengingat peningkatan produksi yang terlihat pada tahun 2015.