Beranda ENERGI Migas Revisi UU Migas Alternatif Menutup Ruang Gerak Mafia Migas

Revisi UU Migas Alternatif Menutup Ruang Gerak Mafia Migas

Jakarta – TAMBANG. Koalisi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia memandang bahwa akar masalah dari maraknya praktek rente di sektor migas akibat payung hukum di sektor migas yang masih memiliki banyak celah. Ditambah lagi DPR sampai saat ini masih terus menunda pembahasan terkait revisi UU Migas.

 

Untuk itu, koalisi PWYP menyusun rancangan revisi UU Migas alteratif versi masyarakat sipil sejak 28 Februari 2014. Proyek ini dikoordinir oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebagai usaha untuk menutup ruang gerak bagi mafia migas.

 

“Draft revisi UU Migas versi masyarakat sipil ini menawarkan sejumlah poin penting,” ujar Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP di Jakarta, Rabu (17/12).

 

Beberapa poin tersebut adalah perubahan model kelembagaan hulu, pemenuhan hak informasi dan akses masyarakat atas industri migas, pembentukan petroleum fund, pelibatan masyarakat dalam proses penentuan Wilayah Kerja (WK), dan aspek perencanaan.

 

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menuturkan dalam rancangan versi masyarakat sipil mengakomodasi perubahan model kelembagaan hulu migas, yang memungkinkan adanya proses check and balance sekaligus menyesuaikan dengan mandat Putusan MK.

 

Model kelembagaan ini menempatkan fungsi pengambilan kebijakan dan pengawasan kepada pemerintah, sementara fungsi pengelolaan migas kepada BUMN. Diharapkan dengan model tersebut dapat terbentuk kelembagaan yang kuat, tidak tumpang tindih dari segi kewenangan, juga memperkuat posisi negara dalam pengelolaan migas. “Serta tidak menciptakan peluang rente untuk magia migas, sehingga seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dapat terlaksana dengan nyata,” ujarnya.

 

Kedua adalah mejamin pemenuhan hak informasi, partisipasi, dan akses masyarakat atas industri di sepanjang rantai proses industri ekstraktif meliputi keterbukaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), penghitungan Dana Bagi Hasil (DBH), data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen AMDAL, dan lainnya.

 

“Mekanisme EITI (Extractive Industry Transparency Initiative) juga akan di-endorse dengan lebih kuat dalam revisi UU Migas ini,” ungkap Henri.

 

Ketiga adalah pembentukan Petroleum Fund, sebagai dana dari penerimaan minyak dan gas bumi yang disisihkan dan dikelola secara akuntabel untuk mendukung agenda pemerintah. Tujuannya untuk tiga hal, pengalihan energi fosil ke energi bersih terbarukan; pembangunan infrastruktur migas seperti kilang (refinery), jaringan distribusi gas bumi, dan terminal gas alam cair; serta kegiatan yang berkaitan dengan cadangan migas baru.

 

Keempat, pelibatan masyarakat dalam proses penentuan Wilayah Kerja. Adanya kewajiban untuk memperhatikan soal masyarakat sekitar tambang dalam pertimbangan untuk mengekstrak atau tidak mengekstrak cadangan migas, termasuk hak-hak masyarakat adat.

 

“Di samping itu, pemenuhan hak daerah dalam penyertaan modal (participating interest/PI) juga perlu dikelola dengan tata kelola BUMD dan strategi prmodalan yang kuat, jangan sampai hak PI daerah menjadi perburuan politik rente baru yang lebih menguntungkan pemodal dibanding masyarakat,” kata Maryati.

 

Terakhir, Lanjut Maryati adalah perencanaan migas yang terintegrasi dengan beberapa hal diantaranya kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagaimana dimandatkan UU Energi. Selain itu aspek perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam dan perencanaan tata ruang. Perencanaan migas ini harusnya juga menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).