Beranda Batubara Riset..Ancaman PHK Di Industri Batu bara Sebagai Dampak Transisi Energi

Riset..Ancaman PHK Di Industri Batu bara Sebagai Dampak Transisi Energi

Jakarta,TAMBANG,- Di tengah desakan transisi energi dari energi berbasis fosil ke energi yang lebih bersih ada ancaman PHK bagi pekerja yang bekerja di sektor energi fosil. Disebutkan bahwa para penambang batu bara menghadapi kemungkinan besar PHK karena jadwal penutupan tambang dan peralihan ke pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang lebih murah. Situasi ini terlepas dari apakah negara asal pekerja ini sudah menerapkan kebijakan penghapusan batu bara atau tidak. Rata-rata 100 pekerja per hari menghadapi potensi pengangguran pada tahun 2035. Ini adalah laporan baru dari Global Energy Monitor (GEM).

Untuk tujuan ini GEM mengamati 4.300 proyek tambang batu bara yang aktif dan yang tengah direncanakan di seluruh dunia. Di sana ada total tenaga kerja hampir 2,7 juta orang. Ditemukan bahwa lebih dari 400.000 pekerja yang dipekerjakan di pertambangan yang akan menghentikan operasinya sebelum tahun 2035. Jika rencana pengurangan batu bara diterapkan secara bertahap guna membatasi pemanasan global hingga 1,5 °C, maka hanya dibutuhkan 250.000 penambang artinya kurang dari 10% tenaga kerja saat ini di seluruh dunia.

Sementara lembaga ini menyebutkan bahwa pekerjaan di bidang pertambangan batu bara mempunyai peran yang sangat besar di wilayah-wilayah batu bara yang terpencil. Pekerjaan tersebut menjadi pusat kegiatan ekonomi dan menopang tenaga kerja tambahan serta lapangan kerja di area sekitar tambang.

Sebagian besar pekerja ini berada di Asia  dengan jumlah 2,2 juta pekerjaan dimana Tiongkok dan India diperkirakan akan menanggung dampak terbesar dari penutupan tambang batu bara. Tiongkok memiliki lebih dari 1,5 juta penambang batu bara yang memproduksi lebih dari 85% batu Baranya dan yang menyumbang setengah produksi dunia.

Provinsi Shanxi, Henan, dan Mongolia Dalam di utara menambang lebih dari seperempat batubara dunia dan mempekerjakan 32% tenaga kerja pertambangan global — sekitar 870.400 orang.

Sementara India sejauh ini sudah dikenal sebagai produsen batu bara terbesar kedua di dunia. Negara ini memiliki jumlah tenaga kerja sekitar setengah dari provinsi Shanxi di Tiongkok. Negara ini secara resmi mempekerjakan sekitar 337.400 penambang di tambang yang beroperasi, meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor pertambangan lokal memiliki empat pekerja “informal” untuk setiap satu pekerja langsung.

Coal India, perusahaan milik negara adalah produsen batu bara di dunia yang menghadapi potensi PHK terbesar yaitu 73.800 pekerja langsung pada tahun 2050. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pemerintah tetap terlibat dalam perencanaan transisi pekerja batu bara.

Industri batu bara sendiri memikul tanggung jawab atas masa depan sektor ini yang tidak dapat diprediksi. GEM menemukan bahwa sebagian besar tambang yang diperkirakan akan ditutup dalam beberapa dekade mendatang tidak memiliki rencana untuk memperpanjang umur operasinya atau mengelola transisi menuju perekonomian pasca-batubara.

Dorothy Mei, Manajer Proyek Global Coal Mine Tracker menjelaskan; “Penutupan tambang batu bara tidak bisa dihindari, namun kesulitan ekonomi dan perselisihan sosial bagi para pekerja tidak bisa dihindari. Perencanaan transisi yang baik sedang dilakukan, seperti di Spanyol di mana negara tersebut secara rutin meninjau dampak dekarbonisasi yang sedang berlangsung. Pemerintah harus mengambil inspirasi dari keberhasilan mereka dalam merencanakan strategi transisi energi yang adil.”

Sementara Ryan Driskell Tate, Direktur Program Batu bara mengingatkan perlu menempatkan pekerja sebagai agenda utama jika ingin memastikan transisi yang adil tidak hanya sekedar omongan belaka. “Dengan teknologi dan pasar yang siap untuk transisi energi, kita harus proaktif terhadap kekhawatiran unik para penambang batu bara dan komunitas mereka.”tandas Ryan.

Kemudian Tiffany Means, Peneliti menjelaskan Industri batu bara memiliki daftar panjang tambang yang akan ditutup dalam waktu dekat – banyak di antaranya adalah perusahaan milik negara yang memiliki saham pemerintah. “Pemerintah perlu menanggung beban yang sama untuk memastikan transisi yang terkelola bagi para pekerja dan masyarakat seiring kita beralih ke ekonomi energi yang ramah lingkungan.”ungkap Tiffany.