Jakarta, TAMBANG – Harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) bulan Mei 2018 mencapai USD72,46 per barel. Angka ini merupakan harga ICP tertinggi, sejak harga minyak Indonesia menembus USD70 per barel terakhir kali pada November 2014.
“Angka ICP kembali menembus USD 70 per barel di bulan ini, dari USD67,43 per barel di April 2018, naik USD5,03 per barel ke angka USD72,46 per barel,” ujar Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agung Pribadi di Jakarta, Kamis (7/6).
Agung mengungkapkan, berdasar laporan tim harga minyak Indonesia, harga minyak Sumatera Light Crude (SLC) juga meningkat mencapai USD73,15 per barel, atau naik sebesar USD4,76 per barel, dari USD68,39 per barel pada bulan sebelumnya.
Tim harga minyak Indonesia melaporkan peningkatan rata-rata ICP dan SLC ini, sejalan dengan perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama di pasar Internasional pada bulan Mei 2018 dibandingkan bulan April 2018:
– Dated Brent naik sebesar USD 5,13 per barel dari USD 71,80 per barel menjadi USD 76,93 per barel.
– Brent (ICE) naik sebesar USD 5,24 per barel dari USD 71,76 per barel menjadi USD 77,01 per barel.
– WTI (Nymex) naik sebesar USD 3,66 per barel dari USD 66,33 per barel menjadi USD 69,98 per barel.
– Basket OPEC naik sebesar USD 5,68 per barel dari USD 68,43 per barel menjadi USD 74,11 per barel.
Untuk kawasan Asia Pasifik, kenaikan harga minyak mentah ini dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan perekonomian India dan China yang tinggi sehingga mendorong peningkatan permintaan minyak di sektor industri dan transportasi. Hal ini sejalan dengan tingkat pengolahan minyak China dan India yang juga masih kuat.
Angka pertumbuhan China pada kuartal pertama mencapai 6,8 persen, lebih tinggi dari target 6,5 persen. Konsultan energi Wood Mackenzie juga memperkirakan permintaan minyak China tahun ini akan tumbuh sebesar 370.000 barel per hari (bph) menjadi 12,78 juta bph.
Sementara itu, naiknya musim dingin di Eropa pada awal tahun, penambahan kapasitas petrokimia baru di Amerika Serikat, serta membaiknya kondisi perekonomian global, didukung komitmen kuat dari negara-negara produsen minyak non-OPEC untuk mematuhi kesepakatan pembatasan produksi minyak mentah (Perjanjian Wina) hingga mencapai 1,8 juta barel per hari, juga berhasil menahan harga minyak dunia pada levelnya saat ini. Hal itu diiringi pula dengan peningkatan aktifitas kilang pengolahan di AS dan Asia dengan tingkat pemanfaatan mencapai 90 persen dari kapasitas kilang.
Faktor lain yang mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia adalah kekhawatiran pasar atas potensi terganggunya pasokan minyak mentah global, akibat gejolak geopolitik yang disebabkan oleh keputusan AS untuk keluar dari perjanjian pembatasan senjata nuklir yang ditandatangani pada tahun 2015 antara Iran dengan China, Perancis, Jerman, Rusia, Inggris dan AS.
Serta berlakunya kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, yang berdampak negatif pada prospek pertumbuhan permintaan minyak mentah Iran. Harga minyak juga dipicu atas pengenaan sanksi tambahan bagi Venezuela setelah terpilihnya kembali Presiden Nicolas Maduro yang dikecam dunia internasional sebagai otokrasi, sehingga berpotensi semakin menurunkan pasokan dan ekspor minyak mentah negara tersebut yang telah anjlok, hingga sepertiga dalam dua tahun terakhir.