Beranda Tambang Today YLKI: Perlu Ada HBA Berbasis Nasional

YLKI: Perlu Ada HBA Berbasis Nasional

Jakarta, TAMBANG – Dalam beberapa pekan terakhir, berita seputar tarif listrik khusus terkait Harga Batubara Acuan (HBA) hangat dibicarakan. Pemerintah ingin agar HBA masuk dalam formula tarif listrik.

 

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun menjadi lembaga yang kini gencar mengkritisi hal tersebut. Menurut YLKI, konsumen berhak atas tarif listrik yang wajar seperti yang dijaminkan dalam UU Ketenagalistrikan. Dalam perspektif konsumen, tarif listrik yang wajar minimal bertumpu pada dua aspek yakni aspek afordabilitas/kemampuan membayar, serta aspek willingness to pay yang terkait erat dengan kualitas pelayanan operator.

 

Selain itu, kewajaran tarif listrik juga harus memperhatikan kepentingan operator. Sebut saja tarif harus sesuai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) untuk menjamin kerbelanjutan operator listrik (PT PLN).

 

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, wacana reformulasi tarif listrik dengan memasukkan HBA akan berbahaya, jika masih mengacu pada harga internasional.

 

“Memasukkan HBA ke dalam elemen tarif bisa dipahami jika pemerintah bisa mengendalikan/menentukan HBA berbasis nasional, bukan berbasis internasional.  Memasukkan HBA sangat berisiko baik bagi konsumen dan atau operator (PT PLN) jika pemerintah tidak mampu mengendalikan harga batubara DMO,”kata Tulus dalam Siaran Pers YLKI, Rabu (14/2)

 

Peserta Focus Group Discussion (FGD) juga meminta agar pemerintah melakukan intervensi harga batu bara. Ini dilakukan demi kepentingan sektor ketenagalistrikan dan bahkan kepentingan nasional.

 

“Untuk komoditas batubara DMO, pemerintah bisa menentukan HBA berdasar tarif bawah dan atau tarif batas atas. “Intinya harus ada panduan yang jelas. Sangat tidak mungkin jika di sisi hilir (tarif listrik) bersifat fully regulated tetapi dari sisi hulu sangat dinamis dan liberal,”kata Tulus.

 

Untuk hal ini, Pemerintah bisa mencontoh Afrika Selatan yang memberikan harga khusus untuk DMO batubara. Sementara untuk ekspor mengikuti harga internasional.

 

Di sisi lain, pemerintah diminta dengan untuk menjaga keberpihakannya pada BUMN, seperti pada PT PLN dan PT Pertamina. Ini penting karena hal ini merupakan wujud nyata pengejawantahan Pasal 33 UUD 1945.

 

“Misi BUMN selain untuk melayani masyarakat (public services), juga berorientasi mencari keuntungan (yang wajar). Pemerintah harus menjaga BUMN dari ancaman kebangkrutan akibat kebijakan yang tidak jelas, inkonsisten dan saling tumpang tindih,”tandas Tulus.

 

Di tempat lain, secara managerial PT PLN dituntut untuk lebih efisien. Jangan kalah dengan tingkat efisiensi yang dicapai TNB Malaysia, atau perusahaan listrik negara di Korea (data 2014). PT PLN perlu mengupdate kepada publik terkait capaian efisiensi, terutama parameter efisiensi dari lembaga pemberi rating berskala internasional.

 

Selain itu reformasi tarif listrik yang berbasis tarif adjusment (tarif otomatis) sejak 2014 juga implementasi subsidi listrik tepat sasaran pada golongan 900 VA, telah berkontribusi signifikan pada laju inflasi.

 

Bahkan menurut analisis BPS (2017), tarif listrik berkontribusi paling dominan pada laju inflasi yakni 0,81 persen. Oleh karena itu, implikasi terhadap gonjang ganjing harga batu bara, jangan sampai  berwacana untuk menaikkan tarif listrik karena akan memukul daya beli konsumen. Yang harus dilakukan pemerintah adalah intervensi harga di sisi hulu, bukan di sisi hilir.

 

Diakhir rekomendasinya, YLKI meminta PT PLN untuk terus meningkatkan pelayanannya. Sebab hingga detik ini pelayanan PT PLN masih banyak dikeluhkan. Bahkan pada 2017 keluhan konsumen terhadap PT PLN menduduki rangking lima besar (6 persen) dari total pengaduan konsumen di YLKI.