Beranda ENERGI Kelistrikan BPK Klaim Andil Subsidi Listrik Tepat Sasaran

BPK Klaim Andil Subsidi Listrik Tepat Sasaran

Jakarta – TAMBANG. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan pada DPR-RI bahwa subsidi listrik yang dikucurkan selama paruh pertama 2014 tidak tepat sasaran. Karenanya, BPK mengaku telah ikut andil dalam menekan subsidi listrik, dengan merekomendasikan peninjauan ulang terhadap tarif listrik.

 

“Tentang ketahanan energi, BPK menekankan subsidi listrik yang tidak tepat sasaran,” ujar Ketua BPK, Harry Azhar Azis, saat menyampaikan  laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2014 di hadapan DPR-RI, Selasa (2/12) di Jakarta.

 

Besaran subsidi listrik yang dikucurkan pemerintah hampir mencapai Rp 100 triliun. Namun berdasarkan temuan BPK, subsidi tersebut justru dinikmati oleh pelanggan PLN kelas besar – menengah, serta pemerintahan. Pelanggan kelas tersebut harusnya bisa membayar sesuai harga keekonomian.

 

Atas dasar itu, pemerintah pun diminta meninjau ulang agar pemberian subsidi listrik bisa lebih tepat sasaran. “Pemerintah telah menindaklanjuti dengan menerbitkan Permen (Peraturan Menteri) ESDM No. 9 Tahun 2014, yang mengatur tarif listrik PLN,” lanjutnya.

 

Peraturan tersebut menjadi acuan PLN menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk kelompok Industri 3 (I-3) dan Industri 4 (I-4) secara bertahap, mulai bulan Mei lalu.

 

Golongan I-3 adalah industri dengan daya di atas 200.000 watt yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. Tarif pelanggan PLN golongan I-3 naik 8,6% setiap per dua bulan, dari yang semula sebesar Rp 803 per kwh, hingga menjadi Rp 1.115 per kwh pada November 2014.

 

Kemudian, golongan pelanggan I-4 adalah industri dengan daya 30.000 watt ke atas. Tarif untuk golongan ini naik 13,3% tiap dua bulan, dari semula sebesar Rp 723 per kwh hinggamenjadi Rp 1.191 per kwh di bulan November.

 

Secara keseluruhan, BPK mengklaim telah membantu pemerintah menekan subsidi hingga Rp 5,42 triliun. Subsidi yang dikucurkan pemerintah turun dari Rp 385,46 triliun menjadi Rp 380,04 triliun.