Beranda ENERGI Kelistrikan Cahaya dari Timur: Ikhtiar Bahlil Menyalakan Keadilan Energi hingga Pelosok Negeri

Cahaya dari Timur: Ikhtiar Bahlil Menyalakan Keadilan Energi hingga Pelosok Negeri

Bahlil Energi
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Namun, di balik gemerlap potensi itu, masih ada warga yang belum merasakan terang listrik di rumahnya. Pemerataan energi masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa. Di bawah kepemimpinan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, keadilan energi bukan lagi sebuah pilihan, melainkan suatu keharusan.

Jakarta, TAMBANG – Mengenakan kemeja putih yang tampak bersih dan rapi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia melangkah menuju Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 3 November 2025. Di antara jajaran Menteri Kabinet Merah Putih yang dipanggil Presiden Prabowo Subianto, Putra Papua itu menjadi yang pertama keluar dari rapat terbatas.

Sebelum benar-benar beranjak, seperti kebiasaannya, Bahlil menyapa para jurnalis yang menanti di halaman istana. Dengan tutur singkat namun padat, ia memaparkan hasil pertemuan siang itu.

“Tadi saya melapor kepada Bapak Presiden. khususnya berbicara tentang realisasi daripada listrik desa,” jelas Bahlil, dikutip dalam keterangan resmi, Selasa (4/11).

Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu belakangan sering turun ke lapangan. Ia menyambangi berbagai daerah, dari Sumatera, Jawa, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Tujuannya untuk memastikan cahaya listrik menjangkau setiap desa.

Itulah salah satu hal yang ia laporkan kepada orang nomor satu di negeri ini. Selain itu, Bahlil juga menyampaikan perkembangan produksi minyak nasional dan upaya menjaga kedaulatan energi.

Meski Indonesia dikaruniai kekayaan energi baik konvensional maupun energi baru terbarukan, nyatanya masih ada masyarakat di pelosok yang belum merasakan terang listrik di rumah mereka, meski jumlahnya  minor.

Hingga paruh pertama tahun 2025, rasio elektrifikasi nasional tercatat mencapai 98,53 persen. Angka ini menunjukkan bahwa hampir seluruh rumah tangga di Indonesia telah menikmati akses listrik. Meski begitu, masih terdapat sekitar 1,47 persen rumah tangga yang belum teraliri listrik, sebagian besar berada di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).  

“Sesuai arahan Bapak Presiden, untuk listrik desa 2029-2030 dari 5.700 desa dan 4.400 dusun, itu harus selesai semua,” ucap Bahlil dalam kesempatan berbeda.

Demi menyalakan terang sampai seratus persen, Bahlil menyiapkan langkah percepatan penyediaan listrik melalui program listrik desa hingga tahun 2029. Sedikitnya 10.068 lokasi akan dijangkau, membuka akses bagi 1,28 juta calon pelanggan baru.

Tahun 2025 menjadi awal dari langkah besar itu dengan penyediaan listrik di 1.285 lokasi untuk menerangi lebih dari 77 ribu rumah tangga di seluruh penjuru Indonesia. Untuk mewujudkan program listrik desa ini dibutuhkan investasi sebesar Rp50 triliun.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia saat memberi sambutan pada acara Mineral dan Batubara Convention and Expo (Minerba Convex) 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Rabu, 15 Oktober 2025. Dokumentasi: TAMBANG.

Tak Sekadar Retorika

Sebagaimana banyak tokoh yang lahir dari dunia aktivisme dan terbiasa dengan retorika, Bahlil pun demikian. Ia memiliki gaya khas dalam menyampaikan kinerja, angka-angka yang biasanya kaku, di tangannya menjelma menjadi kisah yang hidup dan memikat.

Ia tidak sekadar membacakan data, melainkan menjahitnya menjadi narasi tentang pencapaian, tantangan, dan arah langkah ke depan sektor energi dan sumber daya mineral. Ini terlihat saat dirinya beberapa kali melaporkan kinerja baik saat di Kementerian Investasi maupun ESDM.

Bedanya, selain piawai beretorika, kadang diselingi seloroh yang membuat sebagian orang tersenyum, sementara yang lain mengernyit, ia adalah tipe yang tak betah hanya duduk di balik meja. Bahlil selalu merasa gatal jika tak turun langsung ke lapangan, menyapa masyarakat dan melihat sendiri persoalan di bawah.

Dalam pantauan TAMBANG, Bahlil tak hanya memantau dari jauh. Dalam program pemerataan listrik desa, ia turun langsung ke lapangan, menapaki jalan-jalan desa dan menyapa warga dari rumah ke rumah tanpa jarak. Tak seperti kebanyakan pejabat, mantan sopir angkot ini selalu membawa sikap egaliter, berbincang apa adanya, lebih banyak mendengar daripada bicara.

Pada Jumat, 4 Juli 2025, dia berkunjung ke Kampung Berber, Distrik Bonggo Barat, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, memastikan program listrik desa berjalan. Dia berjanji sebanyak 300 rumah akan berlistrik pada tahun ini.

Di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, meski jaringan elektrifikasi sudah maksimal, dirinya tetap memastikan program listrik desa berjalan melalui program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL).

Menteri Bahlil saat meninjau pelaksanaan program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sumber: Kementerian ESDM.

Melalui program BPBL, setiap penerima manfaat akan mendapatkan instalasi listrik rumah tangga yang terdiri dari tiga titik lampu dan satu kotak kontak, lengkap dengan Sertifikat Laik Operasi (SLO). Selain itu, mereka juga akan tersambung sebagai pelanggan PLN berdaya 900 VA dan memperoleh voucher listrik senilai Rp100 ribu.

Langkahnya bahkan menjejak di desa terpencil Papua, Desa Tindaret Kepulauan Yapen hingga Pulau Owi, Biak Numfor. Selama ini, masyarakat Pulau Owi hanya dapat menikmati listrik selama 12 jam per hari, yang disuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Bahlil menekankan pentingnya peningkatan kapasitas pembangkit serta penambahan tangki bahan bakar, agar pasokan listrik di pulau tersebut dapat menyala penuh selama 24 jam. Dan masih banyak desa-desa terpencil lain yang dia kunjungi untuk memastikan program ini berjalan.

Ia paham, di balik senyum sederhana para warga, tersimpan harapan besar akan terang yang tak pernah padam. Ingatannya seketika melayang ke puluhan tahun silam, ketika rumah sederhananya hanya diterangi cahaya cempor, lampu minyak kecil yang menggantung di dinding.

Pengalaman pahit itu tertanam kuat dalam benaknya; baginya, kegelapan seperti itu tak seharusnya lagi dialami masyarakat di era yang serba cepat dan penuh kemajuan teknologi ini.

“Saya tidak ingin lagi ada anak-anak yang merasakan seperti saya dulu, merasakan ketiadaan penerangan listrik,” kenang Bahlil.

Belajar dari Cempor, Pentingnya Transisi Energi

Ada pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Dulu, keningnya sering menghitam, entah saat belajar malam hari, atau ketika terbangun di pagi buta. Semua karena asap nakal dari lampu cempor yang menemaninya menimba ilmu di tengah gelap.

Kini, lampu cempor baginya bukan sekadar kenangan, melainkan pelajaran berharga tentang arti terang dan ketimpangan. Ia tak ingin ada lagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam temaram damar di tengah malam, menunggu pagi tanpa cahaya. Atas amanah Presiden Prabowo, Bahlil bertekad menyalakan terang di setiap pelosok negeri, menuntaskan program listrik desa hingga 2029.

Satu per satu, cempor digantikan cahaya listrik, dan perlahan, listrik dari batu bara disulam dengan tenaga yang lebih ramah lingkungan, sebuah perjalanan panjang menuju terang yang adil bagi semua.

Tekad itu bukan sekadar janji di bibir. Di Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, Rabu, 29 Oktober kemarin, Bahlil meresmikan tiga proyek strategis bertajuk Merdeka dari Kegelapan.

Ketiganya meliputi program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) di Sulawesi Utara, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wairara berkapasitas 128 kW di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, dan PLTMH Anggi I (150 kW) serta peletakan batu pertama PLTMH Anggi II (500 kW) di Pegunungan Arfak, Papua Barat.

“Agar pada 2029 hingga 2030, semua desa, semua kelurahan, sudah harus memiliki listrik,” tegas Mantan Menteri Investasi tersebut.

Langkah pemerataan listrik di desa-desa juga telah tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dokumen ini menargetkan penambahan kapasitas pembangkit nasional sebesar 69,5 GW. Rinciannya, 76 persen berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mencapai 42,6 GW, pembangkit batu bara dan gas 16,6 GW serta dari storage sebesar 10,3 GW. 

Model pembangkit berbasis EBT dinilai paling ideal, bisa langsung menyentuh wilayah-wilayah terpencil, menghadirkan cahaya di tempat yang selama ini hanya mengenal gelap dan kesabaran.

Namun, mewujudkan keadilan energi tidak semudah menyalakan satu saklar. Di balik upaya pemerataan listrik dan pembangunan infrastruktur energi bersih, masih tersimpan tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan pasokan energi nasional.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menilai bahwa meski Indonesia dikaruniai sumber daya melimpah, ketergantungan terhadap batu bara masih tinggi. 

Berdasarkan data resmi, umur cadangan batu bara diperkirakan mencapai 43,93 tahun. Namun, menurut pengamatan Singgih, kondisi riil tidak sekuat itu. Mayoritas batu bara nasional merupakan jenis medium rank coal (MRC) yang diperkirakan hanya bertahan sekitar 20 tahun, atau bahkan lebih singkat.

Padahal, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik PLN maupun produsen listrik swasta diproyeksikan masih berlangsung hingga tahun 2060, titik awal menuju net zero emission (NZE).

“Kondisi ini bisa sangat membahayakan sektor kelistrikan, terutama dalam upaya mencapai swasembada energi di masa depan, jika pasar global yang menyerap MRC diikuti dengan meningkatnya ekspor batu bara jenis tersebut dari Indonesia,” ujar Singgih.

Tanpa langkah strategis berupa diversifikasi energi, optimalisasi cadangan, dan percepatan transisi menuju energi bersih, Indonesia berisiko menghadapi jurang defisit energi di masa depan. Jalan menuju swasembada energi tidak hanya bergantung pada keberlimpahan sumber daya, tetapi juga pada keberanian untuk menata ulang kebijakan dan mengelola energi dengan prinsip keberlanjutan.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira menilai porsi pembangkit berbasis fosil menjadi 16,6 GW dalam RUPTL terbaru tidak boleh dimaknai sebagai akhir dari era batu bara. Sebaliknya, langkah itu menjadi menilaienergi nasional.

“Para pelaku usaha batu bara, khususnya anggota Aspebindo, tengah menyiapkan sejumlah strategi adaptif,” ujar Anggawira.

Strategi adaptif yang dimaksud mencakup hilirisasi batu bara, seperti gasifikasi dan produksi dimethyl ether (DME) sebagai substitusi LPG. Selain itu, pelaku usaha juga didorong untuk memasok PLTU captive yang melayani industri smelter, baja, pupuk, serta kawasan industri terpencil yang belum terjangkau pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Meski porsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam bauran energi nasional terus menyusut, batu bara tetap memegang peran strategis sebagai sumber energi baseload yang andal dan ekonomis, setidaknya hingga 2045. Peran ini masih vital, mengingat karakter EBT yang bersifat intermiten serta penyebarannya yang belum merata dari sisi infrastruktur pendukung.

ASPEBINDO memandang masa depan batu bara tidak lagi sekadar sebagai komoditas ekspor mentah atau pemasok utama PLTU PLN. Lebih dari itu, batu bara kini dilihat sebagai bagian dari ekosistem energi nasional yang lebih terdiversifikasi, bernilai tambah, dan efisien.

“Karena itu, kolaborasi antara pelaku industri, pemerintah, dan BUMN energi menjadi sangat penting untuk merancang transisi yang menjaga keseimbangan antara dekarbonisasi dan ketahanan energi,” tutupnya.

Ilustrasi: Pemasangan listrik di desa-desa. Sumber: Kementerian ESDM.

Belajar dari cempor mengajarkan bahwa terang tidak selalu datang seketika, ia lahir dari perjuangan, dari tekad untuk keluar dari gelap tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.


Seperti Bahlil, yang pernah merasakan perihnya belajar di bawah nyala cempor, Indonesia pun tengah menapaki jalan serupa: meninggalkan ketergantungan pada energi lama menuju sumber daya yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Transisi energi bukan sekadar soal teknologi atau target angka, melainkan tentang keadilan dan pemerataan, bagaimana setiap rumah di pelosok merasakan cahaya yang sama, bagaimana perubahan tidak hanya dinikmati mereka yang di kota.

Dari cempor kita belajar, bahwa energi yang adil adalah terang yang menyapa semua, bukan hanya menerangi sebagian. Bahlil, putra dari Timur, tumbuh dari cahaya redup sebuah cempor di rumah sederhana. Dari gelap itulah ia belajar arti terang bahwa cahaya bukan sekadar listrik, melainkan simbol harapan dan keadilan.

Kini, setelah perjalanan panjang dari sopir angkot hingga menduduki kursi Menteri ESDM, ia membawa misi yang sama: menyalakan terang bagi setiap sudut negeri. Dari Papua hingga pelosok Nusantara, Bahlil bertekad agar tak ada lagi anak-anak yang belajar di bawah nyala lampu minyak, agar terang bukan lagi hak istimewa, melainkan hak setiap warga Indonesia.