Beranda Mineral Edi Permadi: Pengembangan LTJ Di Indonesia Harus Dimulai Dengan Eksplorasi

Edi Permadi: Pengembangan LTJ Di Indonesia Harus Dimulai Dengan Eksplorasi

Jakarta,TAMBANG,- Pengembangan logan tanah jarang (LTJ) di Indonesia terus diperbincangkan. Ini tidak terlepas dengan peran komoditi ini yang demikian penting sementara keberadaannya yang tidak banyak. Banyak negara kemudian berlomba untuk bisa mengembangkan potensi LTJ sehingga tidak hanya bergantung pada negara lain khususnya Cina.

Indonesia pun demikian. Presiden Prabowo Subianto pun dalam beberapa kesempatan telah mendorong pengembangan potensi komoditi ini. Salah satunya dengan mendorong PT Timah,Tbk. untuk menjadi salah satu pioneer pengembangan LTJ di Indonesia.

Edi Permadi, Tenaga Ahli Profesional Lemhanas pun sepakat dengan hal ini. Oleh karenanya Ia pun mendorong Indonesia untuk mulai menyusun peta jalan pengembangan LTJ Indonesia. Hal ini penting sehingga dapat menentukan langkah dan arah pengembangan LTJ.

“Kalau kita berbicara tentang mineral tanah jarang atau rare earth, prosesnya dimulai dengan mengetahui potensi sumber daya. Ada proses eksplorasi untuk mendapatkan data sumber daya. Setelah mendapatkan model sumber daya, kita lakukan eksplorasi lanjutan untuk meningkakan sumber daya menjadi cadangan,” terangnya.

Ini dimaklumi karena sejauh ini negara kepulauan ini belum punya data sumber daya dan cadangan terkait LTJ ini. Hanya ada data cadangan monasit dan Xenotim yang merupakan produk ikutan dari timah. Itu pun belum didata dengan baik. Jika Indonesia sudah punya data cadangan baru bisa melakukan kegiatan lanjutan berupa Feasibility Study, metalurgi test untuk menentukan processing yang cocok dengan LTJ tersebut.

“Kemudian baru melakukan AMDAL dan Feasibility Studies lanjutan guna melihat keekonomian dan investment serta regulasi yang harus dikembangkan,”terang Edi.

Ia kemudian menyebutkan bahwa Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah menentukan kluster potensi LTJ di Indonesia. Kluster Sumatera utara, Kluster Bangka Belitung, Kluster Kalimantan Barat dan Kluster Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan.

“Indonesia juga sudah ada potensi LTJ di Bangka Belitung diantaranya di PT Timah,Tbk yang mana berasal pengolahan timah. Di sana ada monasit dan xenotim. Bahkan sudah dalam bentuk cadangan. Namun cadangan tersebut masih harus diassest secara metalurgi untuk menentukan procesing mana yang bisa digunakan mengekstrat secara optimal dari sisi recovery LTJ secara optimal dan tentu saja harus ramah lingkungan,” tambah Edi.

Oleh karenanya Indonesia bisa cepat dalam proses pengembangan LTJ pada Monasit dan Xenotim sebagai produk ikutan dari timah. “Tetapi ada kompleksitas dimana perlu ada sinkronisasi antara Kementerian ESDM dengan Bapeten karena ketika melakukan pengolahan dan pemurnian ada keterkaitan dengan unsur-unsur yang mengandung radio aktif. Butuh pengawasan dari Bapeten,”tandas Edi.

Sementara itu eksplorasi juga dilakukan untuk potensi LTJ laterit seperti Sulawesi Barat. Untuk yang ini butuh waktu lebih lama karena harus ada eksplorasi awal untuk mendapatkan data sumber daya. Kemudian ditingkatkan menjadi cadangan.

Edi pun mengingatkan bahwa selain butuh proses yang cukup panjang juga biaya yang tidak sedikit. “Eksplorasi sebenarnya bisa dilakukan secara inhouse tetapi dengan melihat resikonya. Bagaimana kita bisa memitigasi resiko bahwa eksplorasi itu tidak murah dan belum tentu akan menghasilkan data sumber daya yang akan meningkat sebagai cadangan. Sehingga kita bisa saja membuka peluang juga bagi perusahaan BUMN, swasta nasional atau swasta internasional untuk melakukan eksplorasi LTJ di Indonesia,” terangnya lagi.

Untuk tahap awal, bisa saja dilakukan pada kluster-kluster yang sudah ditentukan oleh Badan Geologi. Sampai saat ini memang belum ada IUP khusus untuk komoditi LTJ karena mungkin ini merupakan suatu yang baru. “Sehingga kita bisa sinergi antara mineral ikutan dari timah dan juga eksplorasi yang menyeluruh pada kluster yang sudah dibuat oleh Badan Geologi,” ungkap Edi lagi.

Kemudian yang tidak kalah penting untuk melaksanakan hilirisasi maka lima pilar ini menjadi penting yakni modal, SDM, Social Licence,regulasi dan lingkungan. “Harus ada kemampuan dari sisi modal, kesiapan dari sisi SDM untuk lakukan eksplorasi, dukungan Masyarakat sekitar, regulasi yang mendukung dan lingkungan terjaga,” terangnya.

Edi menambahkan, logam tanah jarang memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi bahan baku utama industri teknologi global. Elemen ini digunakan dalam berbagai sektor mulai dari elektronik, smartphone, X-ray, MRI, fiber optic, hingga sistem pertahanan dan pesawat tempur. Dengan pengelolaan yang tepat, Edi optimis Indonesia dinilai berpeluang besar menjadi pemain penting dalam rantai pasok global logam tanah jarang.