Jakarta, TAMBANG – Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF) menilai wacana kenaikan porsi domestic market obligation (DMO) batu bara merupakan hal yang wajar. Dengan catatan apabila target produksi nasional dipangkas, sementara kebutuhan dalam negeri tetap bahkan meningkat.
Saat ini, kewajiban DMO ditetapkan sebesar 25% dari total produksi setiap perusahaan di antaranya untuk kepentingan kelistrikan, industri semen dan pupuk.
“Dengan otomatis penurunan produksi, demand tetap, secara persentase, DMO itu kan cuma sekadar menghitung antara demand dibagi produksi, otomatis persentasenya jadi naik,” ungkap Ketua IMEF, Singgih Widagdo saat ditemui di Jakarta, dikutip Selasa (18/11).
Kata dia, jika porsi DMO dinaikkan, maka secara otomatis pelaku usaha akan membatasi ekspor mereka. Karena itu, perusahaan saat ini harus menghitung kembali proyeksi ekspor karena kewajiban pemenuhan DMO tidak bisa ditawar.
“Tinggal pelaku usaha akhirnya membatasi ekspornya. Kesimpulannya satu, bahwa perusahaan sekarang menghitung progress ekspor seperti apa, dmo harus dipenuhi,” ucap dia.
IMEF menegaskan bahwa konstitusi menempatkan industri pertambangan sebagai sektor yang wajib memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.
“Memang di dalam konstitusi yang namanya industri pertambangan itu adalah prioritas kepada pemenuhan di dalam negeri. Makanya pemerintah menetapkan sebelum ekspor, (perusahaan) membayar royalty dulu,” beber dia.
Sebelumnya, wacana kenaikan porsi DMO di atas 25% disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR RI di Jakarta, Selasa (11/11/2025). Ia menegaskan bahwa DMO merupakan bagian dari kepentingan hajat hidup orang banyak sehingga perlu dijaga pemenuhannya.
“Bahkan ke depan kita akan merevisi RKAB DMO mungkin bukan 25% bisa lebih dari itu, kepentingan negara di atas segala-galanya,” ungkap Bahlil.







