Beranda Mineral KLHK Tangkap Penambang Nikel Ilegal Di Sultra

KLHK Tangkap Penambang Nikel Ilegal Di Sultra

JAKARTA, TAMBANG – Penyidik Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi, menangkap RMY (27 tahun), tersangka tambang nikel ilegal. Prosesnya saat ini diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara untuk segera menjalani persidangan.

Direktur Jenderal Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa penangkapan dan penetapan tersangka, serta penyidikan kasus ini secara tuntas, menunjukkan bukti keseriusan dan komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum dan menindak pelaku kejahatan pertambangan ilegal.

“Kami sangat mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Sultra atas dukungannya selama proses penyidikan serta dukungan Kepolisian Daerah Sultra dalam penanganan kasus ini. Pelaku pertambangan ilegal tidak hanya merusak kawasan hutan dan lingkungan hidup tapi mereka juga telah merugikan negara, serta mengancam keselamatan masyarakat akibat bencana ekologis,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (11/3).

Rasio mengatakan bahwa pelaku pertambangan ilegal seperti yang dilakukan oleh tersangka RMY merupakan sebuah tindakan kejahatan. Dia lalu mengingatkan bahwa para pelaku kejahatan seperti itu, terutama penambang ilegal akan ditindak secara serius.

“Pelaku kejahatan seperti ini telah mengorbankan banyak pihak untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan melanggar hukum. Sudah sepantasnya mereka dihukum seberat-beratnya”, tegasnya.

Rasio menjelaskan bahwa dirinya sudah meminta penyidik untuk mengembangkan kasus ini. Penyidikan kasus ini, kata dia, tidak boleh berhenti hanya sampai tersangka RMY.

“Kejahatan pertambangan ilegal, termasuk nikel merupakan kejahatan luar biasa, terorganisir, pasti banyak pihak lainnya yang terlibat, termasuk pihak-pihak yang mendanai dan membeli hasil tambang ilegal,” ungkapnya.

Rasio juga mengaku bahwa dia sudah meminta penyidik Gakkum KLHK yang di Jakarta untuk bekerja sama dengan pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) guna mendalami aliran keuangannya dan menerapkan penegakan hukum tindak pidana multidoor atau pidana berlapis termasuk penegakan hukum tindak pidana pencucian uang terhadap penambang ilegal ini.

“Berdasarkan Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KLHK dan PPNS lainnya memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang”, paparnya.

“Sekali lagi kami sampaikan bahwa KLHK berkomitmen untuk melakukan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan. Kami diperintahkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya untuk menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, biar ada efek jera,” katanya.

Rasio menyampaikan bahwa sampai saat ini KLHK telah membawa 1203 kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan ke pengadilan, serta telah melakukan 1783 operasi pemulihan keamanan kawasan hutan dan lingkungan.

Sebagai informasi, RMY adalah Direktur Utama PT JAP yang sudah divonis sebagai tersangka dalam kasus penambangan nikel ilegal pada tanggal 14 Februari 2022 dengan barang bukti 3 (tiga) eksavator dan 3 (tiga) dump truck.

Dia menambang di kawasan Hutan Produksi Terbatas di Desa Lamondowo, Kecamatan Andowia, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat ini RMY ditahan di Rumah Tahanan Polda Sultra.

RMY disangkakan melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 78 ayat (2) Jo pasal 50 ayat (3) huruf “a” UU nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dalam pasal 36 angka 19 pasal 78 ayat (2) Jo pasal 36 Angka 17 pasal 50 ayat (2) huruf “a” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dan/ atau pasal 89 ayat (1) huruf a, b dan/ atau pasal 90 ayat (1) Jo pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana diubah dalam pasal 37 angka 5 pasal 17 ayat (1) huruf a, b, c Undang- Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atas kejahatan ini tersangka RMY diancam hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.