Beranda Mineral VALE: Tanpa Nikel Transisi Energi Jadi Mandek

VALE: Tanpa Nikel Transisi Energi Jadi Mandek

Jakarta, TAMBANG – PT Vale Indonesia Tbk (VALE) menyatakan bahwa nikel merupakan komoditas penting di masa transisi energi. Tanpa nikel, proses menuju net zero emission pun menjadi mandek.

Hal tersebut diungkapkan Komisaris Independen VALE, R Sukhyar dalam Indonesia Nickel and Battery Summit 2023 yang digelar Majalah TAMBANG di Badung Bali, Kamis (12/8).

“Tanpa nikel, energi transisi ini akan tertunda. Karena nikel itu punya karakteristik, kemampuan untuk menyimpan energi transisi yang besar di antara metal lain saat ini,” ungkap Sukhyar.

Menurut Sukhyar, nikel Indonesia adalah salah satu komoditas yang paling banyak diburu oleh investor global. Selain cadangan dan sumber dayanya yang besar, alasan lainnya lantaran nikel Indonesia sangat lengkap mulai dari nikel kadar rendah hingga nikel kadar tinggi.

“Kenapa nikel paling seksi dibandingkan dengan sumber daya lain, tidak semeriah bauksit, tidak semeriah gold, zink tapi nikel sangat ramai. Ternyata jawabannya adalah nikel Indonesia memiliki cadangan tertinggi di dunia. Sehingga orang akan berbondong-bondong mencari nikel ke Indonesia,” jelas dia.

Sukhyar optimis industri turunan nikel kadar tinggi berupa stainless steel maupun olahan nikel kadar rendah sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik akan berjalan pesat di masa mendatang.

“Nikel sebagai bahan baku baterai lithium dan stainless steel dan dua-duanya tumbuh positif di masa akan datang, terutama baterai berbasis nikel,” beber dia.

Komisaris Independen VALE, R Sukhyar dalam Indonesia Nickel and Battery Summit 2023 yang digelar Majalah TAMBANG di Badung Bali, Kamis (12/8).

Di masa transisi energi ini, Sukhyar mendorong pemerintah untuk fokus menjalankan hilirisasi nikel menjadi bahan utama baterai kendaraan listrik. Kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dinilai ampuh dalam mengurangi emisi karbon.

“Lebih baik pemerintah fokus mengawal bagaimana nikel ini benar-benar industri andalan lithium baterai Indonesia. Kalau kita memproduksi EV dalam negeri saja masih bisa, maka orang berbondong-bondong ke sini,” ucap dia.

Sebagai gambaran, proses pengolahan bijih nikel menjadi bahan baku baterai EV perlu dilakukan beberapa tahap dengan menggunakan fasilitas pemurnian dan peleburan alias smelter berteknologi High Pressure Acid Leach (HPAL).

Mula-mula bijih nikel diolah smelter HPAL menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Kemudian MHP diolah lagi menjadi nikel sulfat. Setelah jadi nikel sulfat dibutuhkan bahan baku lain seperti mangan sulfat, cobalt sulfat (NMC), dan lithium karbonat yang kemudian menghasilkan prekursor.

Precursor yang dicampur dengan NMC akan menghasilkan baterai katoda sehingga menjadi NMC Cell. Selain katoda, baterai lithium juga butuh anoda yang dapat dihasilkan dari proses pengolahan natural grafit. Negara penghasil grafit adalah Kongo sementara lithium bisa ditemukan di Australia.

Dalam mendukung industri baterai EV, VALE tengah membanguk smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan hingga 120.000 ton nikel per tahun berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di Blok Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Bahkan rencananya akan lebih hilir lagi berupa precursor.

Proyek yang ditargetkan rampung pada tahun 2025 ini dilaksanakan dengan menggandeng Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (Huayou) dan Ford Motor Co.

“Kami meminta VALE tidak berhenti di metal saja tapi harus hilir lagi, pun dengan Pomalaa harus lebih hilir, MHP jadi nikel sulfat, kobalt sulfat dan ini sedang dipromosikan VALE untuk mencari partner di kemudian hari,” ucapnya.

Smelter yang sama akan dibangun di Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Bersama Huayou, VALE akan memproduksi 60.000 ton nikel dalam MHP per tahun. Konstruksi akan dilakukan pada akhir tahun ini.

“Bukan hanya di Pomalaa, tapi juga di Sorowako karena selama ini kita menambang saprolite untuk nikel matte, tapi limonit-nya kelak akan dijadikan MHP dan akan lebih hilir lagi,” beber Sukhyar.