Beranda Batubara 2015, Tahun Jebloknya Industri Batu Bara

2015, Tahun Jebloknya Industri Batu Bara

Jakarta-TAMBANG. Sepanjang paruh pertama tahun 2015, kinerja perusahaan tambang batu bara paling menjadi sorotan karena dinilai masih suram. Perlambatan ekonomi di Cina turut menjadi faktor pendukung menurunnya kinerja penjualan, ditambah lagi dengan jebloknya harga jual batu bara.

 

Analis DBS Vickers Securities William Simadiputra mengatakan harga batu bara merupakan risiko utama bagi perusahaan tambang batu bara karena mereka adalah price takers dengan kekuatan minimal. Menurutnya, outlook lebih menantang karena pasokan melimpah dan permintaan batu bara lebih lambat.

 

Hambatan juga terjadi lewat perubahan peraturan seperti larangan ekspor dan biaya royalti yang lebih tinggi. “Sektor batu bara diatur oleh pemerintah. Potensi perubahan kebijakan seperti larangan ekspor, biaya royalti yang lebih tinggi dan pengendalian produksi bisa merugikan pendapatan penambang batubara,” jelasnya dalam riset, dikutip Rabu (5/8)

 

Sebagai contoh PT Indika Energy Tbk (INDY) yang sepanjang semester I 2015 mencatat kerugian bersih mencapai US$ 7,86 juta, berbalik dari laba bersih pada paruh pertama 2014 senilai US$ 8,49 juta karena melonjaknya beban.

 

Penurunan kinerja Indika Energy pada Semester I 2015 tersebut merupakan imbas beban pokok kontrak dan penjualan yang mengalami peningkatan cukup besar, 28,97% menjadi US$ 553,30 juta dari US$ 428,99 juta.

 

Dalam pos tersebut, tercatat beban bahan baku menjulang 57,57% menjadi US$ 200,72 juta pada paruh pertama 2015, dari US$ 127,38 juta di tahun sebelumnya. Uniknya, beban jasa katering juga mengalami lonjakan tinggi hingga 175,46% menjadi US$ 4,71 juta, dari US$ 1,71 juta.

 

Analis PT Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe menyatakan untuk tahun ini, kinerja perusahaan tambang batu bara bakal suram. Ia menjelaskan, kendati pendapatan mampu naik karena peningkatan volume penjualan, perseroan bakal mengalami tekanan dari beban dan tarif royalti yang tinggi.

 

“Saya kira tahun ini suram. Negara konsumen seperti Cina melambat, selain itu biaya pengupasan turun dan tarif royalti naik,” jelasnya kepada CNN Indonesia.

 

Produsen batu bara pelat merah, PT Bukit Asam Tbk juga ikut melemah. Perseroan mengalami penurunan laba bersih sebesar 31,22% menjadi Rp 795,6 miliar pada paruh pertama tahun ini dibandingkan perolehan periode yang sama 2014 senilai Rp 1,16 triliun.

 

Meski volume penjualan perseroan perseroan pada semester I tahun ini sebenarnya naik menjadi 9,03 juta ton dari sebelumnya 8,83 juta ton. Namun melemahnya harga batubara tidak mampu mendongkrak kinerja perseroan.

 

“Harga jual rata-rata tertimbang pada periode Januari-Juni 2015 terkoreksi turun 3% menjadi sebesar Rp 703.005 per ton dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014 sebesar Rp 726.766 per ton,” jelas Sekretaris Perusahaan Bukit Asam Joko Pramono, belum lama ini.

 

Todd Showalter, analis PT Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan pihaknya memprediksi rasio pengupasan naik ke level lima kali dan pelemahan harga jual batu bara bakal berimbas kepada margin laba Bukit Asam pada semester II 2015.

 

“Kami juga sedang melakukan review terhadap asumsi harga batu bara pada jangka panjang karena perkembangan terakhir di Cina yang telah membuat prospek jangka panjang untuk harga komoditas, terutama batu bara, lebih negatif. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi Cina terlihat melambat lebih cepat dari perkiraan sebelumnya,” ujarnya dalam riset.

 

Sementara itu, PT United Tractors Tbk (UNTR), yang 59,5% sahamnya dimiliki oleh Grup Astra, mencatatkan penurunan pendapatan bersih sebesar 9% . Meskipun laba bersih meningkat 4% menjadi Rp 3,4 triliun karena diuntungkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah.

 

PT Pamapersada Nusantara (PAMA), anak perusahaan United Tractors di bidang jasa penambangan batu bara juga mengalami penurunan pendapatan bersih sebesar 9% karena kontrak produksi batu bara menurun 8% menjadi 52 juta ton, seiring dengan penurunan kontrak pengupasan lapisan tanah (overburden removal) sebesar 8% menjadi 372 juta bank cubic metres akibat menurunnya rasio pengupasan tanah (stripping ratio).

 

Anak perusahaan United Tractors di bidang pertambangan mencatat penurunan penjualan batu bara sebesar 18% menjadi 2,8 juta ton, mengakibatkan menurunnya pendapatan bersih sebesar 18%. UT dan anak perusahaannya memiliki kepemilikan jumlah cadangan sebesar 403 juta ton.

 

“Data konsumsi domestik dan manufaktur Cina masih memberikan sinyal memberikan tekanan pada ekspor batu bara domestik. Sementara itu, permintaan impor dari India diprediksi akan berkurang karena adanya pertumbuhan produksi domestik,” tulis tim dalam riset.

 

Sementara itu, tim Henan Putihrai menambahkan, kondisi penurunan harga minyak sebagai barang substitusi juga dapat memberikan dampak negatif terhadap permintaan batu bara. Namun, penundaan kenaikan tarif royalti akan sedikit menurunkan sentimen negatif pada Bukit Asam, yang dimiliki pemerintah.