Jakarta,TAMBANG,- Batubara sejauh ini masih menjadi salah komoditi tambang andalan Indonesia. Sampai sekarang Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, industri batubara Indonesia menghadapi sejumlah tantangan termasuk dari sisi regulasi.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI–ICMA) menyebut beberapa hal mulai dari kondisi pasar yang terus mengalami koreksi, lahirnya kebijakan B 40 awal tahun ini dan kemudian Pemerintah sudah mulai menyampaikan rencana penerapan B50. Lalu ada kenaikan royalty untuk IUP, rencana penerapan bea keluar.
Sekretaris Jenderal APBI Haryanto Damanik dalam presentasinya dihadapan para Editor Energi menegaskan pelaku usaha akan mendukung kebijakan Pemerintah termasuk kebijakan biodiesel B40. “Namun dalam kebijakan B40 ada subsidi non-PSO yang dihilangkan sehingga meningkatkan biaya produksi. Kalau dinaikin lagi menjadi B50 beban tersebut akan semakin besar bukan saja dari sisi pembiayaan tetapi juga dari aspek teknis,”tandas Haryanto.
Tantangan lainnya terkait wacana Pemerintah mengenakan pajak ekspor pada komoditi batubara. Kebijakan ini rencananya akan diterapkan pada tahun 2026. APBI mengusulkan agar harga hanya dipatok saat industri menikmati windfall profit, bukan ketika pasar sedang mengalami tekanan.
Industri batubara juga menghadapi tantangan terkait rencana Pemerintah menekan produksi. Sejauh ini belum ada keputusan resmi namun muncul wacana Pemerintah akan mematok produksi batubara nasional di angka 600 juta ton per tahun.
APBI mengingatkan jika ini diterapkan maka akan berdampak pada kontrak jangka panjang yang pada akhirnya mengurangi porsi batubara Indonesia di pasar global. “Menjaga keseimbangan supplay-demand itu penting namun perlu digarisbawahi bahwa Indonesia bersifat market driven dan bukan market maker,”tandas Haryanto dalam Editor Gathering 2025, Kamis (27/11).
Tantangan lainnya adalah pertambangan tanpa izin dan pencurian batubara. Persoalan yang sesungguhnya sudah berlangsung lama.
Selain persoalan berskala nasional Industri batubara juga menghadapi tantangan regional baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Kedua pulau yang merupakan produsen batubara nasional.
Tantangan industri batubara di area Sumatera lebih terkait aspek transportasi. Mulai dengan kebijakan bahwa terhitung mulai tahun 2026, truk pengangkut batubara dilarang menggunakan jalan umum. Sementara tambang-tambang batubara di Sumatera sebagian besar jauh dari Pelabuhan sehingga biaya logistik menjadi lebih tinggi. Kemudian penggunaan alur Sungai Musi juga akan dibatasi sehingga waktu pengiriman batubara semakin terbatas.
Lalu adanya pendangkalan pelabuhan di Pulau Baai. Kondisi ini membuat kapasitas kapal menjadi terbatas akibat sedimentasi dan butuh pengerukan agat operasional kembali normal.
Sedangkan untuk Area Kalimantan ada sejumlah tantangan yang dihadapi mulai dari delineasi IKN (ring 3). Ada sejumlah perusahaan yang ada di sekitar IKN sedang dalam ketidakpastian terkait kelanjutan operasi. Belum lagi perizinan dan penetapan batas wilayah IKN masih menimbulkan ketidakpastian. Kemudian terkait tarif STS di Muara Berau yang terjadi karena adanya monopoli operator. Hal ini telah meningkatkan biaya logistik pengapalan.
Selanjutnya terkait dengan rencana Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang berencana menetapkan kontribusi PPP sekitar Rp.5.000 sampai Rp.10.000 per ton. Kemudian adanya pendangkalan Sungai Mahakam di area Benanga. Saat air surut, kapal tongkang akan berhenti yang menyebabkan keterlambatan ekspor dan tambahan biaya demurrage.
Semua tantangan tersebut akan menjadi beban bagi perusahaan ditengah kondisi pasar sedang mengalami koreksi. APBI pun menekankan penting menjaga stabilitas kebijakan di tengah dinamika pasar global yang sangat fluktuatif guna menjaga ketahanan industri.
APBI melihat ditengah kondisi melemahnya harga batubara internasional disertai kenaikan biaya produksi dan logistik perlu ada kebijakan yang lebih adaptif, terukur, dan mampu menjaga kesinambungan investasi jangka panjang.
Ketua Umum APBI Priyadi menegaskan APBI memahami dan mendukung tujuan pemerintah untuk mengurangi impor solar dengan menerapkan kebijakan B40. Namun hilangnya Subsidi untuk Non-PSO semakin menekan arus kas. “Hilangnya subsidi untuk non-PSO semakin menekan arus kas, sehingga tambahan beban biaya operasional sangat memengaruhi ketahanan usaha di tengah fluktuasi harga komoditas,” ungkap Priyadi.
Ia juga menegaskan bahwa industri tambang mendukung transisi energi, namun harus juga melihat kondisi industri. Sebelum melangkah ke B50, pemerintah perlu memastikan implementasi B40 berjalan stabil dengan skema kompensasi yang proporsional, agar industri mampu beradaptasi tanpa kehilangan daya saing, dan pada akhirnya mendukung keberlangsungan produksi serta penerimaan negara yang tetap optimal.
Asosiasi juga menekankan urgensi penegakan hukum terhadap aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang tidak hanya merugikan dari aspek keselamatan dan lingkungan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kehilangan penerimaan negara. Upaya penertiban yang sistematis dan terkoordinasi lintas lembaga mutlak diperlukan.
APBI menegaskan bahwa pemberantasan aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) merupakan agenda mendesak yang tidak bisa ditawar. Praktik ilegal ini bukan hanya merugikan secara ekonomi melalui hilangnya penerimaan negara, tetapi juga membawa dampak negatif yang sangat besar pada aspek keselamatan kerja, kelestarian lingkungan, serta menciptakan distorsi pasar yang tidak sehat. “Untuk itu, kami mendorong adanya operasi penertiban yang lebih sistematis, terintegrasi, dan dilakukan secara berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait,”tandas Priyadi.
Acara Editor Gathering 2025 digagas APBI–ICMA dengan tujuan membangun sinergi dan kerja sama yang lebih kuat antara industri, regulator, dan media. Komunikasi yang akurat dan konstruktif diharapkan mampu mendorong terciptanya ekosistem pertambangan yang lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan tahun 2026.







