Beranda Batubara Australia Tertekan Biaya Produksi, Mongolia Geser Dominasi Ekspor Batu Bara ke China

Australia Tertekan Biaya Produksi, Mongolia Geser Dominasi Ekspor Batu Bara ke China

Australia
Ilustrasi.

Jakarta, TAMBANG – Industri batu bara global tengah menghadapi dinamika besar. Di Australia, biaya pembiayaan proyek melalui sumber keuangan alternatif seperti anggaran pribadi semakin meningkat. Instrumen ini sempat mendominasi sejumlah transaksi merger dan akuisisi, namun dengan konsekuensi biaya yang jauh lebih tinggi.

Hal ini disampaikan CEO Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA ) Australia, Amandine Denis-Ryan dalam CT Asia 2025 di Badung, Bali, Selasa 23 September.

“Tekanan biaya juga datang dari kebijakan yang semakin ketat, membuat risiko proyek bertambah, sementara jumlah dan volume proyek cenderung menurun,” ungkap Denis dikutip Selasa (30/9).

Dari sisi pasar, imbuh Denis, tren konsumsi juga berubah. Jepang dan Korea sebagai pasar tradisional dengan harga tinggi mulai menurun permintaannya. Sebaliknya, Tiongkok mendorong pergeseran ke batu bara berbiaya rendah. Kata dia, Studi Wood Mackenzie bahkan menunjukkan proyek berbiaya rendah tidak membutuhkan tambahan modal besar, sehingga pasarnya tetap kuat dan kompetitif.

Kondisi ini memperberat posisi Australia yang sebelumnya menjadi pemasok utama Tiongkok. Pada 2020, Australia menguasai hampir 50% pangsa impor batu bara metalurgi Tiongkok, kini tinggal 8%.

“Posisi tersebut digantikan Mongolia yang agresif meningkatkan ekspor. Vietnam juga mulai membangun rantai pasok melalui Laos dengan sistem konveyor untuk menekan biaya transportasi,” imbuh Denis.

Di dalam negeri, industri tambang Australia juga menghadapi lonjakan biaya produksi hingga 50% pada periode 2021–2023, terutama akibat kenaikan upah tenaga kerja, biaya logistik, cuaca ekstrem, serta regulasi lingkungan.

Perusahaan tambang merespons kondisi ini dengan dua strategi utama yiatu sebagian tetap ekspansi, sementara sebagian lain memilih diversifikasi ke sektor energi alternatif maupun teknologi energi baru.

“Meski tekanan kompetisi makin kuat, analis menilai masih ada peluang. Bagi pemasok domestik dan lokal, momentum ini bisa menjadi alternatif pasar. Sedangkan bagi pemain ekspor, strategi pengelolaan aset dan efisiensi biaya menjadi kunci agar tetap relevan dalam peta persaingan global,” pungkasnya.