Jakarta, TAMBANG – Pemerintah memastikan untuk tidak melanjutkan proses penerapan campuran biodisel 30 persen atau B-30. Penerapan campuran dilakukan untuk B-20 dan kemudian nantinya dilanjutkan dengan penerapan green fuel.
Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana mengatakan, saat ini ada dorongan untuk transportasi berhenti B-20, tidak di B-30. Kemudian digantikan dengan green fuel.
“Ada dorongan ke arah sana, berhenti di B-20. Kalau mau mendorong sawit ke transportasi, doronglah melalui green fuel,” Kata Rida Mulyana.
Rida membeberkan, pencampuran B-20 memang masih ada beberapa kendala. Salah satunya bila kendaraan yang sudah diisikan B-20 tidak dipergunakan selama sepekan. Maka akan berpisah campuran antara minyak mentah dan minyak sawit (Fatty Acid Methyl Esters/FAME). Sebab menurutnya, pencampuran B20 dilakukan di tanki, sehingga menyebabkan tidak stabil.
Namun green fuel, menurutnya tetap akan stabil. Karena proses pencampurannya dilakukan di kilang bahan bakunya dengan memakai teknologinya. Sehingga kemudian muncullah green fuel, green gasoline.
“B-20 kalau didiamkan seminggu aja akan berpisah tuh minyaknya, apalagi B-30. Kalau green fuel karena sifatnya seperti itu, maka stabil,” tutur Rida.
Terkait penerapan B-20 saat ini, Rida menjelaskan, sudah terus diupayakan semaksimal mungkin. Penerapan sanksi denda Rp6000 per liter pun sudah diterapkan. Meski muncul sanggahan-sanggahan dari perusahaan terkait dengan pengenaan sanksi tersebut. Pemerintah pun menurutnya sudah mempersiapkan jawaban-jawabannya.
Selain itu, juga ada kendalara regulasi peralihan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM) ke Badan usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN).
“Peralihan dari BU BBM ke BU BBN sebagai pemasok,” tukas Rida
Sementara itu, Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE, Andrian Feby Misnah, mengatakan, masih ada kendala dalam penerapan B-20 khusunya untuk wilayah Indonesia Timur. Masalah-masalah yang dialami per 1 September 2018 yaitu transportasi pengangkutan ke titik-titik penyalur dan infrastruktur.
“Bukan di suplier, mereka bisa, hanya masalah di pengirimannya saja, transportasinya panjang, dan ini banyak di daerah Indonesia Timur. Kalau di daerah Jawa aman, apalagi Sumatera yang pusat produksi minyak sawitnya. Untuk Pertamina sudah dilakukan pemangkasan titik dari 68 titik menjadj 28 titik penyalur,” kata Feby.