Beranda Batubara Dunia Energi Disodok Trump

Dunia Energi Disodok Trump

Pelantikan Donald Trump sebagai presiden AS menyisakan kekhawatiran yang luar biasa bagi dunia. Izin eksplorasi dipermudah. Produksi ditambah. OPEC khawatir, banjir minyak kembali terjadi.

Gedung OPEC di Wina, akhir November lalu mendadak serupa gemuruh. Setelah sempat diwarnai silang pendapat, akhirnya Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) mencapai kata sepakat. Untuk kali pertama sejak delapan tahun terakhir, organisasi negara-negara pengekspor minyak tersebut melakukan pemangkasan produksi. Dengan pemotongan 1,2 juta barel per hari, produksi harian minyak yang digelontorkan OPEC turun menjadi 32,5 juta barel per hari.

Mufakat yang didapat menjadi pemicu riuhnya gedung yang terletak di pusat di kota budaya itu. Meski sudah digagas sejak pertemuan informal antar-negara produsen di Aljir, September silam, Iran dan Irak sempat menyatakan keengganan mengurangi produksi. Irak beralasan masih butuh dana besar untuk memerangi ISIS, sementara Iran ingin mengangkat produksi minyak mereka di atas 4 juta barel per hari. Padahal, pengurangan produksi dimaksudkan,untuk dapat meningkatkan harga minyak yang anjlok sejak 2014.

Presiden Konferensi OPEC, Mohammed Bin Saleh al-Sada mengatakan, pemangkasan produksi merupakan keputusan utama konferensi. Pembatasan produksi tersebut, efektif berlaku mulai tanggal 1 Januari 2017 mendatang. “Kami menimbang beberapa faktor yakni kondisi penawaran dan permintaan minyak dunia, keinginan untuk membangkitkan investasi minyak, dan demi mengamankan pasokan energi dalam jangka menengah dan jangka panjang,” kata Mohammed seperti dikutip CNN.

Jumlah masing-masing volume produksi yang akan dipangkas selanjutnya akan didistribusikan secara merata ke 13 anggota OPEC. Di antara seluruh negara OPEC, Arab Saudi akan menerima pemotongan produksi terbesar yaitu 486 ribu barel per hari, atau 40,5 persen dari pemotongan volume produksi yang disepakati.

Menariknya, pembatasan produksi tidak hanya dilakukan negara OPEC. Seperti ditambahkan Mohammed, komitmen juga muncul dari negara-negara non-OPEC, yang membatasi produksi sebesar 600 ribu barel per hari. Dalam hal ini, lanjut Mohammed, Rusia menyumbang pemangkasan produksi terbanyak dengan jumlah 300 ribu barel per hari. “Kami telah menimbang segala aspek. Kami memahami bahwa pasar butuh keseimbangan kembali, dan dibutuhkan keberanian untuk melaksanakan hal tersebut,” kata dia.

Diwarnai tarik ulur kepentingan dalam negeri masing-masing negara anggota OPEC, terutama Iran dan Irak, proses terjadinya kesepakatan itu tentu menarik. Terlebih menurut para analis, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat, menjadi faktor yang cukup dominan mempengaruhi OPEC dalam pengambilan keputusan.

Suka tidak suka, faktor Trump memang turut berpengaruh dalam Konferensi OPEC tersebut. Apalagi seperti disampaikan Kepala Riset dan Komoditas Derivatif Global Bank of America Merril Lynch, Fransisco Blanch, setidaknya terdapat tiga alasan, mengapa kemenangan Trump berpengaruh pada proyeksi OPEC.

Pertama, seperti dikutip CNBC, kebijakan Trump bisa mendorong penguatan dolar AS dan kenaikan suku bunga AS. Kedua faktor tersebut, menurut Blanch, tidak terlalu bagus bagi negara-negara pasar tumbuh, maupun terhadap permintaan minyak di negara-negara berkembang. “Penguatan dolar membuat harga minyak mentah menjadi lebih mahal ketika dibeli dengan mata uang lain,” kata Blanch.

Kedua, lanjut Blanch, tujuan Trump untuk mendorong produksi energi Amerika bisa menimbulkan kelebihan pasokan minyak mentah. “Sekarang OPEC harus menghadapi peningkatan ancaman lebih banyaknya pasokan dari AS dengan biaya yang lebih rendah. Dilonggarkannya peraturan akan membuat lebih banyak pasokan dari Amerika,” lanjut Blanch.

Dan ketiga, Iran sekarang justru cenderung berkebalikan sikap dengan rivalnya, Arab Saudi. Dicabutnya sanksi internasional atas Iran memungkinkan negara itu menggenjot produksi minyak dan memperoleh pangsa pasar.

Ancaman
Donald Trump memang mendadak menjadi ancaman. Sejak memenangkan pemilihan presiden dengan mengalahkan rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, sosok raja properti AS itu mendadak seperti “hantu” menakutkan. Tidak sedikit belahan dunia menyikapi negatif, termasuk sektor energi, utamanya minyak dan gas bumi.

Respon negatif dunia sudah bisa dilihat sesaat setelah Trump dipastikan mengalahkan Hillary versi perhitungan cepat. Pada hari itu juga, mayoritas saham di berbagai bursa saham internasional menukik turun. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia meluncur anjlok 56,36 poin (1,03%) menjadi 5.414.

Harga minyak dunia juga melemah. Harga berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) CLc1 melemah menjadi US$43,07 per barel, atau turun 4% dibanding penutupan sehari sebelumnya. Angka ini menjadi harga terendah sejak September lalu. Sementara itu, harga berjangka Brent LCOc1 turun 1,7% di posisi US$45,26 per barel.

Kekhawatiran tersebut tentu bukan tanpa alasan. Lihat saja slogan kampanye Donald Trump: “Make America Great Again”, yang juga diterjemahkan dalam kebijakan energinya sebagai An America First Energy Plan. “Hal itu merupakan pengumuman mengutamakan dalam negeri yang supernasionalis, yang meletakkan kepentingan Amerika di atas segala-galanya,” begitu Sampe L. Purba, Komite Tetap Energi Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, menilai.

OPEC memang menjadi subjek paling terancam atas terpilihnya Trump. Kepala Invesco Fixed Income Scott Roberts seperti dikutip Reuters, mengatakan, melalui kebijakannya, AS akan fokus pada upaya menaikkan produksi minyak dalam negeri. Sejumlah aturan ketat yang melarang eksplorasi, eksploitasi, dan produksi minyak akan dicabut. Selain itu, imbuh Scott, pengeboran minyak di tanah-tanah yang selama dilarang akan diizinkan.

Akses pipa minyak yang melewati kawasan hutan lindung di Dakota Utara, yang di era Barack Obama tidak diberi izin, dengan segera diberi angin segar oleh Donald Trump. Pipa sepanjang 1.885 kilometer itu akan mengalirkan minyak pasir dari Kanada ke Amerika Serikat, dibangun sejumlah perusahaan yang dipimpin oleh Energy Transfer Partners LP (ETP.N).

Trump juga akan membiarkan eksplorasi migas di Laut Atlantik, Laut Arktik, Alaska, hingga Teluk Meksiko. Hal inilah, yang menurut Scott, menjadi kekhawatiran OPEC terutama Saudi yang berharap terjadinya kenaikan kembali harga minyak dunia. “Jelas mereka sangat khawatir atas masalah ini,” kata Scott.

Scott mengungkapkan, Saudi sangat was-was dengan kemungkinan Trump menaikkan produksi minyak AS hingga 500 ribu barel per hari (bph). Dengan begitu, produksi minyak AS bisa menyentuh 13 juta bph dari saat ini antara 11 – 12 juta bph. Jika ini terjadi , lanjut Scott, dengan ditambah gagalnya kesepakatan OPEC menurunkan produksi minyak, harga minyak dunia bisa jatuh lebih dalam hingga level 30-an dolar AS. (Lebih lanjut silakan simak Majalah TAMBANG Edisi Februari 2017)