Beranda Kolom Era Digital Dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Era Digital Dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Oleh: Dimas A. Kadarisman*

Evolusi teknologi sedang berlangsung dengan cepat dan pesat, namun hal ini tidak berbanding lurus dengan kesigapan pengelolaan sumber daya manusia untuk mengimbangi. Padahal, teknologi berkaitan erat dengan talenta muda yang mendominasi dunia kerja sekarang. Mereka dinilai sebagai kelompok adaptif yang mampu mengimbangi kecepatan transformasi teknologi. Ironisnya, laporan Badan Pusat Statistik Ketenagakerjaan bulan Februari 2025 menyebutkan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia justru didominasi generasi muda. Proporsi pengangguran terbanyak berada pada kelompok usia 15-24 tahun (16,16%) dan diikuti kelompok umur 25-59 tahun (3,04%).

Jika kita menarik garis panjang ke belakang, sebenarnya hal ini terjadi karena masalah struktural. Banyak variabel yang harus diperhatikan, seperti bagaimana generasi muda dibesarkan dan kurikulum pendidikan yang mereka lewati, yang merupakan dasar dari pembentukan jati diri mereka saat ini. Inilah tantangan besar bagi perusahaan: bagaimana mengikuti perkembangan teknologi dengan tetap memberi ruang untuk perubahan yang akan dibawa generasi muda, tanpa mengabaikan kontribusi generasi sebelumnya.

Kemajuan teknologi dalam dunia kerja telah merambah ke berbagai sektor, baik sektor terbarukan hingga konvensional – seperti tambang, pertanian, hingga manufaktur. Kecerdasan buatan, big data, dan otomasi membuat ragam jenis pekerjaan dalam berbagai sektor mengalami efisiensi. Tidak semua perusahaan siap mengimbangi teknologi dan menciptakan peluang kerja baru. Padahal, sektor-sektor tersebut yang justru sangat membutuhkan talenta muda karena memiliki keterampilan paling relevan dengan kebutuhan industri masa depan.

Perusahaan memiliki peran penting untuk mewadahi sumber daya manusia lintas generasi.  Beberapa perusahaan lokal berhasil menunjukan bahwa kolaborasi lintas generasi bisa berjalan dengan baik. Talenta muda yang adaptif dan fleksibel, mampu mendorong inovasi cepat pada sektor layanan jasa dan teknologi pembayaran terbarukan. Keberhasilan ini menegaskan pentingnya memberi ruang inovasi pada karyawan dalam menghadapi tantangan industri yang selalu berubah.

Sejumlah perusahaan sektor teksil dan ritel lokal gagal bertahan karena lambat beradaptasi. Ketidaksiapan perubahan dan minimnya inovasi teknologi membuat mereka tidak mampu mengimbangi cepatnya digitalisasi bekerja. Ini menjadi peringatan nyata bahwa selalu perlu adanya perubahan di era digital jika tidak ingin terkena dampak yang fatal.

Dilema terjadi ketika industri mendesak transformasi teknologi, tetapi kesulitan menemukan SDM dengan talenta digital yang mau bergabung, juga kesulitan jika harus menggeser generasi profesional lama karena masih mengedepankan loyalitas. Kebanyakan saat ini banyak lowongan pekerjaan yang mengkhususkan kemampuan atau talenta yang wajarnya dimiliki orang berpengalaman, tetapi di lain sisi ada batasan umur yang menjadi penghalang.

Dunia kerja sedang dalam masa peralihan. Banyak perusahaan belum cukup progresif dalam mengubah budaya kerja internal mereka. Hal yang sebenarnya sudah dimulai sejak masa pendidikan, ketika kurikulum masih menekankan aspek akademis, belum sepenuhnya menanamkan fleksibilitas berpikir serta pemahaman lintas sektor. Pola pikir tersebut kemudian terbawa dalam dunia pekerjaan di mana masih banyak perusahaan tidak mau sepenuhnya mengubah budaya internal mereka. Budaya yang terkesan kaku dan minimnya ruang inovasi membuat talenta muda merasa tidak cocok, di lain sisi generasi sebelumnya telah terlalu lama berada dalam zona nyaman.

Penelitian yang dilakukan oleh Triyanto (2024) menunjukkan adanya pengaruh positif mengenai fleksibilitas kerja pada loyalitas karyawan generasi muda di perusahaan. Lingkungan kerja yang mendukung juga merupakan bagian dari faktor yang membentuk kepuasan kerja karyawan. Lingkungan kerja yang bersahabat terdiri dari hubungan yang baik antara atasan dengan karyawan dan antar rekan kerja. Kompensasi dan benefit juga masih menjadi prioritas utama bagi generasi baru. Perusahaan harus mempertimbangkan penerapan fleksibilitas dan strategi yang mendukung penerapan work-life balance dan membentuk kepuasan kerja bagi karyawan. Jika tidak, kesenjangan generasi dalam dunia kerja tidak akan pernah ada habisnya dan berpotensi menghambat kemajuan bersama.

Teknologi terus berkembang lebih cepat dari yang kita bayangkan. Ketika dunia kerja harus tertatih untuk mengejar teknologi, pun sumber daya manusia selalu menjadi korban dalam setiap transisi. Perusahaan yang mampu dan ingin bertahan harus terbuka untuk inovasi baru baik secara teknologi maupun kultural. Kolaborasi lintas generasi merupakan keharusan, bukan pilihan yang bisa ditiadakan. Tanpa hal tersebut, kemajuan perusahaan hanya akan menjadi wacana kosong yang tertinggal oleh zaman.

***

*Penulis adalah Ketua Umum Forum Kepala Teknik Tambang Kalimantan Selatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini