Jakarta, TAMBANG – Perusahaan tambang asal Prancis, Eramet, menolak label dirty nickel yang disematkan kepada Indonesia. Menurut mereka, industri nikel nasional justru terus bertransformasi menuju praktik ramah lingkungan dengan mengacu pada prinsip ESG.
“Sejujurnya saya tidak setuju dengan label kotor (untuk pertambangan nikel) yang diberikan kepada Indonesia,” ungkap CEO Eramet Indonesia, Jérôme Baudelet dalam Journalist Class di Jakarta, Senin (25/8).
Menurut Jerome, aktivitas pertambangan di mana pun pasti meninggalkan jejak. Apalagi, setiap perusahaan belum tentu menerapkan standar pertambangan yang sama.
“Ketika Anda melakukan penambangan, Anda memiliki jejak itu benar untuk setiap negara di dunia, dan terlebih lagi, memang benar tidak semua orang menerapkan standar yang sama. Coba datang dan lihat operasinya satu per satu dan lihat bahwa orang-orang, kebanyakan dari mereka melakukan hal yang benar,” imbuh dia.
Di Indonesia, ujar Jerome, ada perusahaan tambang nikel, tembaga, hingga emas yang operasinya bisa dibilang terbaik di dunia. Seperti di negara lain, memang ada yang menjalankan praktik dengan benar, ada juga yang tidak, bahkan ilegal. Namun, dia melihat sebagian besar perusahaan tambang besar di Indonesia sudah berada di jalur yang tepat.
“Jika Anda mengunjungi beberapa perusahaan rujukan di Indonesia yang bergerak di bidang nikel, tembaga, atau emas, Anda mungkin memiliki operasi terbaik di dunia. Jadi, di berbagai negara, selalu ada orang yang melakukan hal-hal dengan benar, orang yang melakukan hal-hal dengan tidak benar, atau bahkan ilegal,” bebernya.
Terkait label dirty nickel yang kerap disematkan kepada Indonesia, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengaku sering mendapat sorotan dari berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), baik dalam maupun luar negeri. Mereka menilai praktik pertambangan nikel di Indonesia masih ugal-ugalan sehingga memunculkan istilah ‘dirty nickel’
“Sampai tiap hari saya menerima WA (WhatsApp) dari NGO, baik dalam maupun luar negeri terkait dengan utamanya nikel,” ungkap Tri Winarno dalam Halalbihalal Asosiasi Pertambangan di Jakarta, Senin 21 April 2025.
Tri Winarno mempertanyakan kenapa industri pertambangan nikel di Indonesia masih kerap mendapat label “dirty nickel”, padahal di lapangan, praktik reklamasi tambang nikel sudah menunjukkan peningkatan signifikan, mirip dengan kemajuan yang terjadi di sektor batu bara.
“Saya gak tahu kenapa, padahal batu bara terkait reklamasi pasca tambang equal dengan nikel. Nikel terhadap reklamasi pasca tambang cukup signifikan peningkatannya setelah kita lakukan diskusi dan sebagainya,” jelas Tri.
Baca juga: Eramet Ungkap Kelanjutan Proyek Bersama Danantara dan INA