Kabut tipis menggantung di antara pepohonan tinggi di Batang Toru, Tapanuli Selatan. Di balik rimbunnya dedaunan, seekor orangutan Tapanuli bergelayut pelan di dahan pohon torop, menyantap buahnya yang matang. Suara burung enggang mengiringi pagi, seakan menyapa dunia bahwa hutan ini masih hidup. Namun, bagi sebagian besar ilmuwan dan pemerhati lingkungan, Batang Toru bukan sekadar bentang hutan tropis, melainkan sebuah rumah terakhir bagi primata paling langka di dunia.
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) baru diidentifikasi secara ilmiah pada tahun 2017, dan kini berstatus critically endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Populasinya diperkirakan tak sampai 800 individu, menjadikannya spesies kera besar paling terancam punah di muka bumi. Habitat alaminya hanya tersisa di kawasan hutan Batang Toru, yang membentang di antara lembah sungai, bukit, dan pegunungan yang menjadi bagian dari sistem hidrologi penting Sumatra Utara.
Di kawasan yang sama, berdiri Tambang Emas Martabe, yang dikelola oleh PT Agincourt Resources (PTAR). Perusahaan ini menggulirkan inisiatif konservasi dan restorasi ekosistem yang berorientasi pada ilmu pengetahuan. Dalam forum IUCN World Conservation Congress 2025 di Abu Dhabi, PTAR memperkenalkan program konservasi berskala 5.700 hektare di ekosistem Batang Toru, yang meliputi kawasan perlindungan di dalam konsesi tambang dan area kompensasi di luar wilayah operasional.
“Komitmen kami melampaui batas operasional tambang. Kami ingin memastikan keberlanjutan ekosistem Batang Toru, sekaligus menunjukkan bahwa tambang dan konservasi bisa hidup berdampingan,” ujar Wakil Presiden Direktur PTAR, Ruli Tanio dalam forum tersebut, Jumat (17/10).

Strategi multi arah yang diterapkan PTAR terdiri dari dua pilar utama. Pertama, biodiversity refugia seluas 2.000 hektare di dalam kawasan tambang, yang berfungsi sebagai zona penyangga sekaligus koridor ekologis bagi satwa liar. Kedua, proyek offset keanekaragaman hayati di luar tambang seluas 3.700 hektare untuk memulihkan dan melindungi kawasan bernilai ekologis tinggi. Pendekatan ini dirancang untuk mencapai net positive impact terhadap keanekaragaman hayati, sebuah konsep yang mendorong industri tidak hanya menekan dampak negatif, tetapi juga menciptakan nilai ekologis baru bagi alam.
Pohon yang Memberi Makan, Jembatan yang Memberi Jalan
Di hutan Batang Toru, setiap pohon memiliki cerita. Pohon torop (Artocarpus elasticus), misalnya, menjulang tinggi hingga 45 meter dengan buah yang menjadi makanan favorit orangutan. Tanaman ini juga berperan penting dalam regenerasi hutan, karena bijinya tersebar lewat sisa pakan satwa. Lalu ada kabau (Archidendron bubalinum), yang dikenal masyarakat sebagai “jengkol hutan”, sumber energi utama bagi berbagai satwa frugivora seperti orangutan, monyet ekor panjang, dan kelelawar buah.
Dua spesies pohon ini menjadi kunci bagi rantai ekosistem Batang Toru. Menyadari hal itu, PTAR melakukan pengayaan jenis tanaman pakan di persemaian alias nursery perusahaan. Ribuan bibit torop dan kabau ditanam dan dikembangkan setiap tahun, baik untuk kegiatan reklamasi maupun rehabilitasi habitat. Dengan langkah sederhana namun strategis ini, PTAR membantu memastikan “dapur alami” orangutan tetap penuh.
“Melestarikan kabau dan torop berarti menjaga ketersediaan pakan dan keseimbangan ekosistem,” jelas Rondang Siregar, pakar kehutanan dan konservasi Institut Pertanian Bogor, yang merupakan anggota Biodiversity Advisory Panel (BAP), forum ilmiah independen bentukan PTAR untuk memastikan setiap langkah perusahaan di bidang pertambangan dijalankan dengan standar konservasi, berbasis riset, dan berorientasi pada perlindungan spesies langka seperti orangutan Tapanuli.

Selain itu, PTAR menerapkan berbagai inovasi teknologi konservasi. Salah satunya adalah pembangunan jembatan arboreal di titik-titik fragmentasi hutan, dilengkapi dengan kamera jebak atau camera trap yang merekam aktivitas satwa secara otomatis. Jembatan ini membantu orangutan dan primata lain berpindah antar kanopi dengan aman tanpa harus turun ke tanah, mengurangi risiko kontak dengan manusia dan konflik satwa.
Teknologi lain yang diadopsi adalah bioacoustic monitoring, hasil studi kolaboratif antara PTAR, Universitas Sumatera Utara (USU), dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Dengan alat perekam suara otomatis, tim peneliti dapat mengidentifikasi keberadaan satwa dari suara mereka, termasuk panggilan khas orangutan jantan dewasa. Bioacoustic menjadi inovasi yang efektif, noninvasif, dan hemat energi dalam pemantauan populasi satwa liar.
Tak hanya itu, perusahaan juga mendirikan stasiun riset lapangan di kawasan Batang Toru yang berfungsi sebagai pusat studi konservasi, pelatihan mahasiswa, dan laboratorium lingkungan. Di sinilah sains, teknologi, dan konservasi berpadu membentuk model baru pengelolaan lanskap tambang berkelanjutan.

Dari Martabe untuk Alam dan Dunia
Konsep konservasi yang diterapkan PTAR menandai babak baru dalam praktik pertambangan Indonesia: dari ekstraksi menuju kolaborasi. Melalui pendekatan ilmiah dan keterlibatan berbagai pihak, perusahaan berupaya membalikkan pandangan lama bahwa industri tambang adalah antitesis dari pelestarian lingkungan.
Ruli Tanio menyebutnya sebagai “Beyond Extraction”, sebuah gagasan yang menempatkan tambang sebagai katalis konservasi, bukan ancaman bagi ekosistem. Di bawah payung ini, PTAR tidak hanya menjalankan kewajiban hukum, tetapi juga membangun sistem perlindungan jangka panjang berbasis lanskap dengan melibatkan masyarakat lokal, lembaga riset, dan pemerintah daerah.
“Kami ingin para konservasionis dan akademisi melihat kami bukan sekadar perusahaan tambang, tapi sebagai sekutu strategis dalam menjaga alam,” kata Ruli dalam sesi IUCN di Abu Dhabi.
Langkah-langkah konkret pun terus dijalankan. PTAR memperluas kemitraan riset, membuka data pemantauan biodiversitas, dan mengadakan program edukasi untuk masyarakat sekitar. Melalui environmental monitoring program, perusahaan rutin memantau kondisi flora-fauna endemik, kualitas air, dan penutupan vegetasi sebagai dasar kebijakan lingkungan.
Selain orangutan Tapanuli, perhatian juga diberikan kepada spesies kunci lain seperti enggang gading (Rhinoplax vigil) dan trenggiling (Manis javanica). Ketiganya berstatus critically endangered dalam daftar merah IUCN, dan berperan penting menjaga keseimbangan hutan tropis. Melindungi spesies ini berarti menjaga seluruh ekosistem Batang Toru tetap hidup.

Lebih dari sekadar program tanggung jawab sosial, konservasi Batang Toru kini menjadi model internasional untuk praktik “nature-positive mining.” Konsep ini mendorong perusahaan tidak hanya mengurangi dampak, tetapi justru memberi kontribusi positif bagi alam.
Menjelang senja, cahaya matahari menembus celah daun torop yang basah. Seekor induk orangutan terlihat memeluk anaknya di dahan tinggi. Di bawah mereka, tim peneliti tengah memeriksa rekaman kamera jebak yang memuat gambar pergerakan satwa malam sebelumnya. Adegan itu menjadi simbol baru Batang Toru sebagai tempat sains, tambang, dan konservasi berjalan beriringan. Dari setiap bibit torop yang ditanam hingga setiap suara orangutan yang terekam, tersimpan pesan sederhana: bahwa keberlanjutan bukan sekadar konsep, tetapi warisan yang ditanam hari ini untuk kehidupan esok.







