Beranda CSR Menjahit Swasembada, Dari Lahan Bekas Tambang Menjadi Lumbung Pangan

Menjahit Swasembada, Dari Lahan Bekas Tambang Menjadi Lumbung Pangan

Potret pemanfaatan void, cekungan bekas tambang milik PT Indo Tambang Raya Megah Tbk yang dikelola menjadi sumber air bersih dan irigasi.

Jakarta, TAMBANG – Pagi di Embalut datang dengan suara yang sama sekali berbeda dari masa lalu. Bukan lagi dentum alat berat atau deru truk pengangkut batu bara yang memecah sunyi, melainkan desir angin yang menundukkan padi, ritme mesin pemipil yang sesekali berdengung, dan lolongan ayam petelur yang baru diambil telurnya. Di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, lanskap yang dulu identik dengan galian besar dan tanah gersang kini berangsur hijau, seperti halaman panjang yang disapu ulang oleh musim.

Embalut adalah nama sebuah site tambang batu bara yang dikelola PT Kitadin, entitas anak PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG). Sejak 1983, lokasi ini memproduksi batu bara subbituminus dengan nilai kalori 5.850 kkal/kg. Wilayah konsesinya membentang seluas 2.973 hektare. Pada 25 Februari 2022 lalu, setelah Izin Usaha Pertambangan (IUP) berakhir, Embalut memasuki fase pascatambang. Tiga tahun berselang, wajahnya sulit dikenali. Void, cekungan besar sisa galian tambang, kini menjadi tampungan air jernih untuk irigasi. Jalur hauling road menjelma akses ke sawah dan kandang. Tanah yang dulu dianggap keras dan masam dipulihkan hingga kembali bernapas.

Di bawah perbukitan reklamasi yang ditanami, agenda besar pemanfaatan pascatambang tersusun jelas. Sebanyak 74 hektare lahan digunakan untuk padi, 206 hektare untuk pengembangan sapi, 26,5 hektare kebun buah, 100 hektare jagung, 113 hektare lahan pakan, dan 4,17 hektare peternakan ayam. Semua diarahkan untuk dimanfaatkan masyarakat, bukan sekadar penghijauan biasa.

“Kami ingin membalik persepsi bahwa tambang pasti merusak. Kalau pascatambang dilakukan dengan serius, hasilnya bisa luar biasa,” kata Bonifasius Tipa, Kepala Teknik Tambang PT Kitadin, saat ditemui tambang.co.id di Tenggarong Seberang, Rabu (24/9) lalu.

Bonifasius Tipa, Kepala Teknik Tambang PT Kitadin di lokasi area bekas tambang yang disulap menjadi areal persawahan.

Bersama Institut Pertanian Bogor, Kitadin memetakan pengembangan peternakan, perikanan, pertanian, hingga pariwisata. Hingga pertengahan tahun ini, pemulihan pascatambang telah mencapai 86,45%, dengan target tuntas dua tahun lagi.

Dampaknya mulai terasa. Peternakan ayam petelur di Embalut memproduksi ribuan telur tiap hari. Di kandang sebelah, kambing berkembang biak hingga mencapai 128 ekor. Kotoran ternak diolah menjadi kompos, kembali ke tanah sebagai pemulih kesuburan. Sebanyak 129 petani, tergabung dalam tujuh kelompok, mendapat pendampingan dan modal untuk tiga musim tanam. Pada kunjungan terakhir, musim ketiga telah berjalan rapi dan serempak.

Di petak padi yang menguning, air dari void mengalir stabil melalui jaringan irigasi. Produktivitas rata-rata mencapai 4,8 ton gabah kering giling (GKG) per hektare. Dengan luas 74 hektare dan dua kali panen setahun, proyeksi produksi tahunan mencapai 710,4 ton GKG, angka yang tak terpikirkan sebelumnya di lahan bekas tambang.

Salah satu petani, Yasim, 54 tahun, mengenang bagaimana hidupnya berubah. Ia pernah bekerja serabutan di tambang lain, lalu menjadi buruh tani tanpa kepastian pendapatan. Di Embalut, musim tanam pertamanya hanya menghasilkan 20% dari harapan, musim kedua naik menjadi 80%, dan musim ketiga mencapai 100%. Kini pendapatannya sekitar Rp12 juta setiap panen.

“Dulu telepon genggam saya tululit, bukan smartphone. Setelah garap padi di sini, bisa beli smartphone,” katanya sambil tertawa. Kalimat sederhana yang sarat makna: di tanah yang pulih, kehidupan layak sebagai manusia modern ikut tumbuh.

Di sisi lain, Gedhe, 25 tahun, pernah bekerja tiga tahun di perusahaan tambang sebelum dirumahkan. Ia menganggur sampai mendengar kabar ada lahan jagung yang bisa dikelola di Embalut. Kini ia menjadi bagian kelompok tani jagung pipil untuk pakan ternak. “Bersyukur, lumayan ada penghasilan lagi,” ujarnya singkat.

Jagung yang ia tanam akan kembali ke kandang, menjadi pupuk, kembali ke tanah, lingkar hidup yang menyatu.

Peternakan ayam petelur di Embalut, yang berhasil memproduksi ribuan telur tiap hari

Lumbung-Lumbung Lain Di Timur Borneo

Tak jauh dari Embalut, tepatnya di Kecamatan Loa Janan, lahan bekas tambang lain sedang tumbuh menjadi ruang hidup baru. Di atas konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE), hamparan sawah seluas kurang lebih 15 hektare membentang hijau. Di ujungnya masih tampak stockpile batu bara, seolah mengingatkan bahwa tanah ini pernah berdenyut dengan ritme industri. Kini, justru suara burung dan riak air yang mendominasi.

Air yang menghidupi sawah itu juga berasal dari void yang telah berubah menjadi kolam air jernih. “Air void dan hasil panennya sudah diuji laboratorium. Aman untuk konsumsi,” kata Agah Wahyu, Kepala Teknik Tambang BBE saat dijumpai tambang.co.id.

Dari lahan persawahan tersebut, produktivitas mencapai 5 ton gabah per hektare sekali panen, dikelola oleh masyarakat lingkar tambang. Bekas pit yang dulu jadi jantung produksi emas hitam, pelan-pelan berubah menjadi sumber penghidupan masyarakat lingkar tambang.

Masih dalam hamparan Kutai Kartanegara, transformasi pascatambang mengambil bentuk lain. Jika BBE menegakkan sawah di atas tanah yang pulih, PT Multi Harapan Utama (MHU) memilih membangun fondasi lewat padang penggembalaan. Anak usaha MMS Group Indonesia ini menyulap 200 hektare lahan pascatambang di Desa Margahayu menjadi Miniranch Jayatama, ladang penggembalaan yang mampu menampung lebih dari 1.200 ekor sapi. Di sana, peternak lokal mendapat pelatihan pembiakan, kesehatan hewan, hingga manajemen pakan, bekerja sama dengan akademisi dan dinas terkait.

PT Multi Harapan Utama (MHU) memilih membangun fondasi lewat padang penggembalaan. Anak usaha MMS Group Indonesia ini menyulap 200 hektare lahan pascatambang di Desa Margahayu menjadi Miniranch Jayatama, peternakan sapi terintegrasi.

Jejak yang sama merambat ke arah selatan, tepatnya di Paser, PT Kideco Jaya Agung menautkan pertanian, peternakan, perikanan, dan wisata dalam satu lanskap terpadu, membuktikan bahwa nilai tambah bisa dirangkai dari banyak pintu sekaligus. Anak usaha PT Indika Energy Tbk ini, membangun pertanian terpadu seluas 6,5 hektare, menggabungkan hortikultura, peternakan sapi, kambing, dan unggas. Lalu perikanan, yaitu nila dan patin, pengolahan kompos, dan ekowisata, dengan dukungan pendanaan sekitar Rp12 miliar dan kini dikelola warga.

Sementara itu, ke arah barat, pola serupa dirawat dengan disiplin yang tak kalah telaten. PT Gunungbayan Pratamacoal mengembangkan peternakan sapi di Siluq Ngurai, menyusun padang pakan, biogas, hingga jejaring pembinaan yang menaikkan kelas usaha warga. Anak usaha PT Bayan Resources Tbk ini, mengembangkan peternakan sapi sejak 2016 di Siluq Ngurai. Berawal 50 ekor di 25 hektare, tumbuh menjadi hampir 100 ekor dengan 22 peternak, menambah 32 hektare padang pakan, memanfaatkan biogas kotoran sapi untuk energi, dan meraih penghargaan atas inovasi pascatambang itu.

Visi Di Panggung Global dan Eksekusi Di Lapangan

Narasi lokal dari timur Borneo ini, bertaut dengan visi Presiden Prabowo Subianto. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) 2025, Presiden menegaskan target swasembada pangan dalam empat tahun dengan dukungan pertanian.

“Dengan teknologi tinggi, produksi pertanian telah mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah Indonesia,” ujar Presiden Prabowo, Sabtu (1/11).

Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) 2025 di Korea.

Dari visi di panggung global itu, arahnya turun ke eksekusi teknis di lapangan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia terus menekankan bahwa lahan bekas tambang harus menjadi ruang ekonomi baru, bukan sisa luka industri. Pemanfaatannya harus menjamin kehidupan setelah batu bara tak lagi diangkat dari perut bumi.

“Setelah tambang selesai, harus ada diversifikasi hilirisasi yang jelas. Kita tidak boleh terjebak kutukan sumber daya alam,” tuturnya.

Pada akhirnya, swasembada bukan hanya soal menghitung tonase panen. Ia adalah tentang kedaulatan atas tanah, atas penghidupan, atas pilihan hidup.

Di Embalut, tanah pulih. Di Margahayu, Paser, hingga Siluq Ngurai, kawanan sapi kembali makan di padang hijau. Dan di antara lumbung-lumbung bekas tambang itu, harapan tumbuh perlahan, seperti padi yang menguning, satu musim pada satu waktu.